Notification

×

Iklan

Iklan

AI Masuk Kurikulum Sekolah: Langkah Maju atau Sekadar Tren?

07 Mei 2025 | 10:39 WIB Last Updated 2025-05-07T03:39:37Z



"Ganti pemerintah, ganti kurikulum."

Pasbana - Kalimat ini sering terdengar seperti lelucon khas warung kopi. Tapi bagi banyak guru dan orang tua, itu bukan lagi candaan—melainkan cerminan rasa frustrasi. Kali ini, yang jadi sorotan adalah rencana pemerintah untuk memasukkan pelajaran Artificial Intelligence (AI) ke dalam kurikulum sekolah mulai tahun ajaran 2025–2026.

Di tengah gempuran iklan kursus coding untuk anak di media sosial dan euforia digitalisasi, kabar ini mungkin terdengar menggembirakan. Siapa yang tak ingin anak-anaknya ‘melek AI’ sejak dini? Tapi pertanyaannya, apakah kita benar-benar siap?

AI di Sekolah Dasar

Bayangkan anak-anak SD belajar bahasa pemrograman Python atau membuat chatbot sederhana. Terdengar futuristik dan keren, bukan? Namun, para ahli pendidikan justru mengingatkan: jangan terburu-buru.

Menurut Prof. Suyanto, pakar teknologi pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, penerapan AI dalam kurikulum nasional butuh strategi jangka panjang. “AI bukan sekadar pelajaran baru. Ia membutuhkan kesiapan infrastruktur, SDM guru, dan pemahaman mendalam tentang etika teknologi,” ujarnya dalam seminar nasional pendidikan digital tahun lalu.

Tantangan di Lapangan: Listrik Saja Belum Merata

Data Kemendikbud Ristek 2024 menyebutkan, 8.522 sekolah di Indonesia masih belum teraliri listrik—belum bicara soal akses internet atau perangkat komputer. Jika listrik saja belum tersedia, bagaimana murid-murid ini bisa memahami konsep machine learning?

Tak hanya itu, berdasarkan riset INOVASI dan World Bank (2023), lebih dari 60% guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) belum memiliki pelatihan dasar dalam teknologi digital, apalagi AI.

Pelajaran dari Negara Tetangga

Sementara itu, negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Tiongkok telah lebih dulu mengintegrasikan AI ke pendidikan dasar. Tapi, mereka melakukannya dengan pendekatan yang bertahap dan berbasis pengalaman. Di Singapura, misalnya, program AI dimulai dari konsep dasar logika berpikir, bukan langsung ngoding.

“Mereka menyiapkan ekosistemnya dulu: pelatihan guru, infrastruktur, dan bahkan kolaborasi dengan industri teknologi,” jelas Dr. Widi Nugroho, konsultan pendidikan dan teknologi.

Melek Digital vs. Kejar Tren

Jangan salah, ide menghadirkan AI ke sekolah bukanlah hal buruk. Di era digital ini, keterampilan teknologi adalah kebutuhan pokok. Tapi seperti halnya belajar membaca, pemahaman AI juga harus bertahap dan sesuai dengan usia perkembangan kognitif anak.

Jika kita terburu-buru, hasilnya bisa seperti fenomena “kursus kilat coding 5 hari” yang menjanjikan keahlian luar biasa—padahal pemahaman yang terbentuk sangat dangkal. “AI bukan ilmu sulap. Butuh waktu, latihan, dan pemahaman etis yang kuat,” tegas Yohan Saputra, pendiri komunitas EduTech Indonesia.

Lalu, Apa Solusinya?
Pendidikan AI bisa dimulai dari pengenalan logika dan etika digital di tingkat dasar, bukan langsung pemrograman kompleks.

  • Pelatihan intensif untuk guru menjadi keharusan sebelum pelajaran AI resmi diterapkan.
  • Pemetaan infrastruktur sekolah secara nasional perlu diprioritaskan agar program tidak timpang.
  • Pemerintah bisa menggandeng startup dan industri teknologi untuk membangun ekosistem belajar yang sesuai konteks Indonesia.

Jangan Terlalu Cepat, Jangan Terlalu Lambat

Teknologi memang tak bisa dihindari. Tapi dalam pendidikan, cepat bukan berarti tepat. AI bisa menjadi lompatan besar bagi Indonesia jika dijalankan dengan visi jangka panjang, bukan sekadar program ‘ganti menteri, ganti kurikulum’.

Karena pada akhirnya, yang ingin kita capai bukan hanya anak-anak yang bisa ngoding, tapi generasi yang bisa berpikir kritis, beretika, dan siap menghadapi masa depan—dengan atau tanpa AI.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update