Notification

×

Iklan

Iklan

Batik Tanah Liek: Warisan Minangkabau yang Terpendam dan Kembali Bersinar

09 Mei 2025 | 10:00 WIB Last Updated 2025-05-09T03:00:49Z


Pasbana - Di tengah gemerlapnya kain batik dari Jawa yang mendunia, Minangkabau menyimpan sehelai sejarah yang nyaris terlupakan: Batik Tanah Liek. Sebuah teknik pewarnaan kain yang menggunakan tanah liat sebagai unsur utama, batik ini bukan hanya tekstil, tapi narasi budaya yang terkubur oleh waktu dan dijemput kembali oleh kegigihan satu perempuan: Hj. Wirda Hanim.

Jejak Awal dari Pagaruyung


Sejarah Batik Tanah Liek berakar pada masa kejayaan Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung, sekitar abad ke-16. Menurut sejarawan lokal, batik ini kemungkinan merupakan hasil akulturasi budaya antara pendatang dari wilayah pesisir dan perajin lokal Minangkabau. Penggunaan tanah liat (liek) sebagai bahan pewarna alami bukanlah tanpa alasan. 

Dalam kearifan lokal, tanah bukan hanya unsur kehidupan, tapi juga simbol keseimbangan dan kesucian.Teknologi pewarna alami dari tanah ini menunjukkan pemahaman ekologis masyarakat Minangkabau tempo dulu.


Lenyap dalam Bayang Kolonialisme


Namun, sejarah tidak selalu ramah pada tradisi. Pada masa pendudukan Jepang di awal 1940-an, jejak Batik Tanah Liek perlahan menghilang. Penghapusan aktivitas budaya lokal demi kepentingan perang serta pergeseran selera masyarakat membuat batik ini nyaris punah. 

Tak ada lagi perajin, tak ada lagi kain yang dicelup tanah. Tradisi ini hanya bertahan dalam ingatan samar sebagian warga Nagari Sumanik, Salimpaung, Tanah Datar.

Kebangkitan yang Dimulai dari Hati


Lahir dari kekhawatiran akan hilangnya identitas budaya Minangkabau, Hj. Wirda Hanim memulai perjalanannya pada tahun 1994. Ia menemukan beberapa potongan kain bermotif batik yang masih digunakan oleh warga tua di Sumanik. 



Ketertarikannya pada motif yang unik dan bahan pewarna yang tidak biasa menggugahnya untuk menggali kembali teknik pembuatan batik ini.

“Apa yang saya lihat bukan sekadar kain, tapi jejak yang menunggu untuk dihidupkan kembali,” ujar Hj. Wirda Hanim dalam wawancara yang dikutip Tempo (2002).

Dengan tekun, ia mempelajari kembali teknik pewarnaan alami menggunakan tanah liat, daun manggis, jengkol, dan tumbuhan lainnya. Ia juga membina kelompok perajin perempuan di sekitarnya, mengajarkan kembali cara membatik dengan cara tradisional.

Tanah Liek sebagai Identitas Ekologis


Unsur paling khas dari batik ini adalah penggunaan tanah liat sebagai pewarna utama. Tanah diambil dari daerah tertentu yang memiliki kandungan mineral tinggi, kemudian difermentasi sebelum digunakan sebagai pewarna. 

Hasilnya adalah warna-warna bumi yang teduh: cokelat tanah, merah bata, dan nuansa alam yang lembut.




Menurut penelitian dalam Jurnal Seni dan Budaya Indonesia (Vol. 23, 2018), pewarna alami ini tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menunjukkan keterkaitan erat antara manusia dan alam dalam filosofi Minangkabau: alam takambang jadi guru.


Menjadi Warisan Budaya yang Bernilai


Kini, Batik Tanah Liek tidak hanya menjadi simbol kebangkitan budaya Minang, tetapi juga ikon pariwisata kreatif di Sumatera Barat. Pemerintah daerah Tanah Datar bahkan menjadikannya sebagai produk unggulan dalam program ekonomi kreatif berbasis budaya.Melalui batik ini, diharapkan generasi muda mencintai akar budayanya sendiri.




Batik ini juga telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2020. Pengakuan ini tidak hanya menyelamatkan batik tersebut dari kepunahan, tapi juga mengangkatnya sebagai simbol ketahanan budaya lokal.

Relevansi di Era Digital


Di tengah era digital yang serba cepat, Batik Tanah Liek justru menemukan ruang baru. Perajin muda Minang kini memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan batik ini secara global. Motifnya yang khas dan filosofinya yang dalam menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar etnik modern.




Namun tantangannya masih besar: regenerasi perajin, akses pasar, dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Oleh karena itu, sinergi antara komunitas, akademisi, dan pemerintah menjadi kunci agar Batik Tanah Liek tak hanya dikenang, tapi juga hidup dan berkembang.

Menenun Masa Lalu untuk Masa Depan


Kisah Batik Tanah Liek adalah cerita tentang kehilangan, ketekunan, dan kebangkitan. Ia bukan sekadar kain, melainkan narasi tentang bagaimana budaya bisa mati dan hidup kembali lewat tangan yang mencintainya. Hj. Wirda Hanim telah menenun sejarah itu kembali, dan kini saatnya kita menjaganya.

Seperti kata pepatah Minang: “Indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh”. Warisan sejati tidak akan luntur oleh zaman, jika ada yang setia menjaganya.Makin tahu Indonesia. (budi)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update