Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Ranah ke Baitul Maqdis: Ketika Minangkabau Memeluk Palestina

03 Mei 2025 | 08:05 WIB Last Updated 2025-05-03T01:08:25Z



Pasbana - Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan angka atau nalar ketika kita bicara tentang Palestina. Ia bukan sekadar titik di peta yang kini dibombardir tanpa ampun. Ia adalah luka kolektif dunia, dan entah kenapa—selalu terasa begitu dekat dengan hati orang Minang. 

Mungkin karena sesama yang pernah terjajah selalu tahu rasanya diinjak tanpa daya. Atau mungkin karena kami di Minangkabau percaya, bahwa membela tanah yang dizalimi adalah bagian dari merawat marwah.

Sudah terlalu banyak darah tertumpah di tanah yang dalam kitab suci disebut "diberkahi." Al-Quds, Yerusalem—bukan hanya tempat, tapi titik temu langit dan bumi. 

Masjid Al-Aqsa di sana bukan sekadar bangunan kuno, tapi simbol keteguhan iman. Tempat Nabi Muhammad SAW melesat ke langit dalam Isra’ Mi’raj, titik awal kiblat umat Islam, dan kini menjadi saksi bisu ketidakadilan yang berlangsung tanpa jeda.

Tapi hubungan kita dengan Palestina tak melulu soal agama. Ada sejarah yang lebih hangat dari sekadar kutipan ayat. Pernahkah kita ingat bahwa Palestina-lah yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto—bahkan ketika kita sendiri masih ragu apakah kita sudah merdeka betulan atau belum. 

Bukan tetangga terdekat, bukan pula kekuatan besar dunia, tapi Palestina. Seorang mufti bernama Syekh Muhammad Amin Al-Husaini berani bersuara untuk kita, di tengah kekuatan kolonial yang masih membayang. Itu bukan sekadar diplomasi; itu adalah solidaritas dari lubuk nurani.

Hari ini, solidaritas itu diuji balik. Kita mungkin tidak memegang senjata. Tapi kita punya suara, punya doa, dan punya dompet.

Sebagian dari kita—di ranah Minang—bahkan memulai penggalangan dana dari lumbung padi. Bukan karena berlebih, tapi karena merasa sebahagian dari luka itu adalah luka kita sendiri. 

Di lumbung-lumbung itu, tersimpan tekad untuk menolak diam, sebab diam adalah kejahatan paling sopan dalam menghadapi penindasan.

Dalam Undang-Undang Dasar kita sendiri, di alinea pertama, sudah tegas: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Dan lucunya, kita sering melafalkannya dalam upacara, tapi lupa mengamalkannya dalam aksi nyata. 

Maka, membela Palestina bukan cuma soal agama atau kenangan sejarah. Ini soal konstitusi. Ini soal kemanusiaan.

Dan kalau masih ragu, cukup tanya pada nurani: Haruskah kita diam saat anak-anak mati tanpa sempat belajar mengeja kata “damai”?

Minangkabau mengenal pepatah: “Duduak samo randah, tagak samo tinggi.” Saat kita dulu merintih dalam kolonialisme, Palestina ikut menopang. Kini saat mereka terjatuh, masa iya kita malah membahas diskon digital dan saldo e-wallet?

Mari, dari ranah yang jauh di Sumatra, kita kirimkan gelombang simpati, empati, dan aksi. Jangan tunggu jadi pahlawan, cukup jadi manusia yang tak abai.

Karena di antara peluh ladang dan hikayat tua Minang, ada satu nilai yang tak pernah lapuk oleh zaman: 
....membela yang lemah adalah bagian dari merawat kehormatan.(*) 

Oleh: SaniTsaka

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update