Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Alam Mengamuk dan Kita Belajar Menjadi Manusia

11 Mei 2025 | 22:03 WIB Last Updated 2025-05-12T00:07:52Z


Pasbana - Tanggal 11 Mei 2024 bukan sekadar barisan angka di kalender. Ia adalah tanggal yang membuat mata Tanah Datar sembab, jantung berdegup tak karuan, dan peluh gotong royong mengucur tanpa henti. 

Di hari itu, galodo datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai amarah alam yang menyapu habis apa yang kita anggap pasti—rumah, sawah, jembatan, bahkan nyawa.

Bukan cuma air yang datang menggelegak, tapi juga lumpur, batu, dan kayu-kayu raksasa yang seolah ingin berkata: “Kami pernah ditebang, dan kini kami kembali.”

Sebanyak 32 nyawa melayang. Puluhan orang hilang. Ratusan rumah hanyut dan rusak. Irigasi, jalan, kendaraan, bahkan ladang harapan ikut tertimbun. Yang tersisa hanyalah debu, air mata, dan keheningan.

Tapi, seperti kata pepatah Minang, “Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang.” Di tengah amukan bencana, Tanah Datar justru menunjukkan jati dirinya yang paling otentik: masyarakat yang tidak menyerah, bahkan ketika seluruh harta dan ladang sudah hanyut bersama air bah.

Setahun telah berlalu. Luka mungkin belum benar-benar sembuh, tapi kita tak sedang berdiri di tempat yang sama. Kita melangkah. Pelan, tapi pasti. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat, provinsi, dan masyarakat tak tinggal diam.

Rumah-rumah baru telah berdiri, bukan sebagai ganti dari yang hilang, tapi sebagai lambang bahwa hidup tak bisa dimatikan oleh bencana.

Sebanyak 60 unit rumah hunian tetap sudah diserahkan. Ratusan lainnya sedang dalam proses untuk para penyintas yang memilih relokasi mandiri.

Jembatan yang dulu roboh kini kembali menyambung jalan dan harapan. Sawah-sawah yang dulu tertimbun lumpur kini mulai kembali hijau, dibantu oleh reklamasi dan alat pertanian baru. Bahkan, sistem peringatan dini dan relawan kebencanaan pun diperkuat. Kita tak ingin dipukul dua kali oleh bencana yang sama.

Yang juga tak kalah penting: jiwa-jiwa yang terguncang. Anak-anak yang sempat kehilangan senyum kini dirangkul lewat program trauma healing, pendampingan sosial, dan pembinaan keagamaan. Karena membangun bangunan itu mudah—yang sulit adalah membangun semangat.
Memperingati setahun galodo bukan sekadar mengenang tragedi. Tapi menjadi momen refleksi. 

Bahwa menjaga alam bukan lagi sekadar slogan kosong di spanduk musiman. Bahwa pembangunan harus memikirkan lekuk alam, bukan hanya grafik pertumbuhan ekonomi. Bahwa hidup berdampingan dengan alam butuh hormat, bukan dominasi.

Zikir dan doa bersama di Istano Basa Pagaruyung dan Lapangan Cindua Mato adalah pengingat spiritual: kita kecil di hadapan alam dan Sang Pencipta. Tapi kita tidak tak berdaya. 

Karena dari reruntuhan itu, kita belajar kembali menjadi manusia—yang tahu cara saling bantu, saling rangkul, dan saling menguatkan.

Perjalanan belum usai. Masih ada sabodam yang harus dibangun. Jalan dan jembatan yang harus disambung lagi. Perekonomian yang harus dihidupkan kembali. Tapi kita sudah tahu jalannya: kebersamaan. 

Karena jika alam bisa mengamuk dengan dahsyat, manusia Tanah Datar bisa bangkit dengan lebih dahsyat lagi.

Tanah Datar tak hanya bangkit. Ia sedang tumbuh menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih manusiawi. (*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update