Pasbana - Karena di tengah derasnya arus informasi dan volatilitas pasar, banyak investor ritel tergoda membeli saham yang tampak “murah” padahal bisa jadi itu justru perangkap.
Mari kita kupas untuk membedakan mana saham yang benar-benar bernilai dan mana yang hanya tampak menggoda di permukaan. Dengan bahasa yang lugas dan contoh nyata, Anda akan lebih siap menghadapi dinamika pasar yang penuh distorsi.
1. “Murah” Itu Relatif: Sebuah Pengantar
Bayangkan Anda sedang belanja. Ada sepatu bermerek yang tadinya Rp1 juta, kini dijual Rp300 ribu. Tergiur? Tentu. Tapi apakah benar itu sepatu bagus — atau justru stok lama yang tak laku?Begitu pula di bursa saham. Penurunan harga bukan jaminan “diskon”. Dalam istilah pasar, fenomena ini dikenal sebagai mispricing — saham yang “salah harga”. Tapi salah harga bukan selalu berarti peluang. Bisa jadi itu sinyal bahaya.
2. Mengapa Saham Bisa Salah Harga?
Di dunia ideal, harga mencerminkan nilai. Tapi di pasar nyata, apalagi di bursa berkembang seperti Indonesia, teori ini sering “tidur siang”.Ada beberapa penyebab saham salah harga:
Asymmetric information: Investor besar punya akses data lebih dulu, investor kecil baru tahu belakangan.
Aksi bandar: Institusi atau pelaku besar bisa mengatur harga melalui volume besar dan sentimen buatan.
Euforia sosial media: Grup Telegram, TikTok finansial, hingga “stock influencer” bisa mengangkat saham tanpa alasan fundamental jelas.
Respon pasar yang lambat: Kadang berita positif sudah keluar, tapi harga baru naik berminggu-minggu kemudian.
Contoh aktual: Pada Mei 2024, saham PT XYZ naik 40% hanya karena rumor akuisisi oleh grup besar. Ternyata, dokumen akuisisi belum ada hingga kini. Harga kembali anjlok, ritel sudah telanjur nyangkut.
3. Salah Harga Bukan Berarti Undervalued
Ini perbedaan penting yang sering diabaikan:Kriteria | Undervalued | Salah Harga |
---|---|---|
Dasar Analisis | Fundamental (DCF, PER, PBV) | Sentimen, spekulasi |
Potensi Kenaikan | Rasional, jangka panjang | Irasional, bisa sangat fluktuatif |
Contoh | Saham blue-chip saat koreksi pasar | Saham gorengan naik tanpa alasan jelas |
Ingat: harga yang terlihat murah di layar bukan jaminan nilainya murah di dunia nyata.
4. Antara Ritel, Bandar, dan Distorsi Pasar
Investor ritel seringkali tertarik pada saham yang tampak “diskon” karena dua alasan:Psikologis: Harga turun dianggap peluang beli murah.
FOMO (Fear of Missing Out): Takut ketinggalan momen kenaikan cepat.
Namun, saham yang dibangunkan dari tidur panjang hanya untuk dijual pada euforia sesaat sangat berisiko. Banyak saham lapis tiga yang likuiditasnya minim, fundamentalnya lemah, tapi naik karena “dinaikkan” — bukan karena nilai aslinya meningkat.
Analogi: Seperti rumah tua yang dicat baru dan dijual mahal, padahal strukturnya sudah lapuk.
5. Ilusi Diskon: Kesalahan Umum Investor
Mari kita kupas satu bias psikologis paling umum:“Saham ini dulu 1.000, sekarang 300. Diskon 70%! Kenapa nggak beli?”
Padahal:
Harga 1.000 bisa saja overvalued
Harga 300 mungkin justru harga wajarnya. Performa bisnisnya bisa saja memang menurun drastis.
Contoh nyata: Saham PT ABC sempat di harga Rp2.000 saat IPO di 2022. Kini, Mei 2025, harganya stagnan di Rp400 karena pendapatan terus turun dan persaingan makin ketat. Bukan diskon, tapi realita bisnis.
6. Kasus Nyata: IPO dan Permainan Harga
Beberapa saham IPO “diciptakan” untuk salah harga sejak awal:Harga ditetapkan tinggi karena prospektus yang bombastis
Listing langsung ARA (auto reject atas) karena ritel menyerbu
Setelah itu harga jatuh bebas karena realitas bisnis tak seindah narasi.
Data OJK (April 2025) menunjukkan 38% saham IPO 2023-2024 kini berada di bawah harga penawaran awal. Ini mengindikasikan bahwa narasi sering lebih kuat dari realitas — dan ritel jadi korban utama.
7. Panduan Praktis:
Cara Menghindari Ilusi Salah Harga
Berikut beberapa langkah untuk lebih cerdas menyikapi saham yang terlihat “murah”:
Berikut beberapa langkah untuk lebih cerdas menyikapi saham yang terlihat “murah”:
- Cek fundamental: Apakah penjualan, laba, dan ROE masih bagus?
- Lihat histori saham: Apakah pernah aktif atau hanya sesekali naik karena isu?
- Perhatikan likuiditas: Jangan beli saham yang sulit dijual kembali.
- Waspadai euforia: Jika saham naik tanpa berita resmi, pertanyakan alasannya.
- Gunakan rasio valuasi dengan bijak: PER dan PBV bukan segalanya — bandingkan dengan sektor sejenis.
Baca Makna di Balik Harga
Saham yang “turun banyak” bukan berarti layak dibeli. Jangan membeli masa lalu — beli masa depan yang jelas.Investor sejati tidak hanya tahu membaca harga, tapi juga membaca cerita di balik harga itu. Dalam pasar yang penuh ilusi, skeptis adalah pelindung terbaik. Harga bisa bohong, tapi nilai sejati tidak akan bisa menyembunyikan diri selamanya. (*)