Pasbana - Di tengah gempuran teknologi digital yang makin menggila—dari cloud storage, layanan publik berbasis AI, sampai aplikasi pelayanan satu pintu—masih ada satu hal yang seringkali dianggap sepele namun krusial: keberadaan dokumen fisik alias hard copy.
“Kenapa sih masih repot bawa-bawa berkas kertas? Kan sekarang semua sudah online?”
Pertanyaan seperti itu tentu sudah sering kita dengar. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: seaman itukah sistem digital kita? Dan lebih jauh lagi, sebajik itukah orang-orang yang menjalankannya?
Hard Copy vs Soft Copy: Bukan Pertarungan, Tapi Kerja Sama
Banyak ahli keamanan data sepakat: tidak ada sistem yang 100% aman. Bahkan lembaga sekelas NASA atau Pentagon saja pernah kebobolan. Jadi, tidak heran jika sebagian orang masih mengandalkan hard document sebagai back-up. Ini bukan soal tidak percaya pada teknologi, tapi soal antisipasi atas celah kelemahan sistem dan moral pengelolanya.“Hard document penting untuk berjaga-jaga dari ketidaksempurnaan sistem, baik yang berbasis komputer lokal maupun berbasis web,” ujar seorang analis kebijakan publik yang enggan disebutkan namanya.
Di sisi lain, soft document juga tak kalah penting. Dalam era serba cepat dan dinamis, siapa yang bisa ke mana-mana sambil membawa map tebal penuh berkas? Mobilitas dan fleksibilitas menjadi alasan utama kenapa digital document begitu vital. Kita bisa akses data dari mana saja, kapan saja, bahkan sambil ngopi di kedai.
Masalahnya Bukan di Sistem, Tapi di Manusia
Mari kita jujur: sistem adalah alat. Ia hanya sebaik orang yang mengoperasikannya. Teknologi bisa canggih, tapi jika dijalankan oleh manusia yang rapuh secara moral, potensi penyalahgunaan tetap terbuka lebar.“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang takkan percaya,” begitu kata pepatah lama yang terasa sangat relevan hari ini. Track record adalah segalanya. Sekali seorang pejabat publik terlibat dalam skandal data, publik akan selalu curiga—dan wajar saja.
Dalam laporan Transparency International 2024, Indonesia masih mencatat skor indeks persepsi korupsi di angka 34 dari 100, yang menandakan korupsi di sektor publik masih menjadi tantangan besar. Maka, tak heran jika masyarakat masih enggan sepenuhnya menyerahkan data kepada sistem tanpa cadangan fisik.
Digitalisasi Layanan Publik: Perlu, Tapi Jangan Terburu-Buru
Bukan berarti kita harus menolak digitalisasi. Transformasi digital adalah keniscayaan, apalagi dalam layanan publik. Namun, prosesnya tidak bisa instan. “Kenapa harus buru-buru?” tanya sang narasumber. “Masih ada waktu untuk mempersiapkan SDM yang betul-betul siap, terutama dalam hal integritas dan profesionalisme.”Sebagaimana disampaikan oleh Kementerian PAN-RB, kunci sukses digitalisasi birokrasi bukan hanya pada sistem, tapi juga pada kapasitas dan etika aparatur sipil negara (ASN). Tanpa integritas, teknologi secanggih apa pun akan mudah disalahgunakan.
Layanan publik bukanlah ajang pamer teknologi, tetapi ajang untuk mensejahterakan publik. Teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir.
Bijaklah Memadukan Dua Dunia
Di era digital ini, bukan waktunya memilih antara hard copy atau soft copy. Gunakan keduanya secara bijak dan sesuai konteks. Dokumen fisik tetap penting sebagai alat verifikasi dan bukti autentik yang tak tergantung listrik atau jaringan. Sementara dokumen digital memberi kecepatan dan kenyamanan dalam mobilitas.Dan yang lebih penting dari segalanya: bangunlah sistem yang dijalankan oleh manusia-manusia berintegritas. Karena tanpa itu, semua teknologi hanyalah ilusi efisiensi.(*)