Pasbana - Setelah lebih dari sebulan menjalani rangkaian ibadah yang melelahkan namun penuh makna di Tanah Suci, satu per satu jemaah haji Indonesia mulai kembali ke tanah air.
Tangis haru, pelukan hangat keluarga, hingga aroma air zamzam dan kurma ajwa kembali memenuhi ruang kedatangan di bandara-bandara besar di Indonesia.
Namun, di balik rasa rindu yang akhirnya terobati, ada satu pertanyaan besar yang berbisik di hati setiap jemaah: Apakah hajiku mabrur?
Haji Mabrur, Tiket ke Surga?
Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, “Haji yang mabrur itu tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Bayangkan saja: ibadah fisik dan spiritual ini bisa menjadi fast track menuju surga, jika dilakukan dengan benar dan ikhlas.
Tapi jangan buru-buru puas hanya karena sudah menyentuh Ka'bah atau melempar jumrah. Sebab, menurut para ulama, haji mabrur tak sekadar soal ritual yang sah, tapi soal transformasi diri yang nyata.
Sebuah perjalanan pulang yang tak hanya membawa koper dan oleh-oleh, tapi juga membawa pulang versi terbaik dari diri sendiri.
Empat Bekal Penting Menuju Haji Mabrur
Niat yang Tulus
Haji bukan ajang pamer sosial. Bukan pula alat untuk mendongkrak citra politik atau jabatan. Dalam hadits populer disebutkan, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Maka jika niatnya lurus karena Allah, langkah pun insyaAllah akan diberkahi.
Dana dan Perlengkapan yang Halal
Jangan remehkan sumber dana. Uang yang dipakai untuk haji harus benar-benar bersih dari yang haram.
Dalam sebuah atsar, Abdullah bin Abbas mengingatkan bahwa satu dirham haram bisa menggugurkan ibadah kita. Artinya, kemabruran tak bisa dibeli, tapi harus ditumbuhkan dengan kejujuran sejak awal.
Pelaksanaan Ibadah Sesuai Tuntunan
Ibadah haji bukan soal improvisasi. Nabi Muhammad SAW dengan tegas berkata, “Ambillah manasik haji dari aku.” (HR Muslim). Artinya, seluruh rangkaian ibadah harus dilakukan sesuai sunnah: dari wukuf di Arafah hingga tahallul.
Tak perlu mengejar sunnah jika malah meninggalkan yang wajib.
Menjaga Lisan dan Perilaku
Allah sudah ingatkan dalam QS. Al-Baqarah: 197 bahwa haji sejatinya harus bebas dari kata-kata kotor, pertengkaran, dan perbuatan maksiat. Haji bukan ruang untuk melampiaskan ego, tapi tempat mendidik hati menjadi lembut dan sabar.
Bagaimana Tahu Haji Kita Mabrur?
Tapi ulama dan para pembimbing haji menyebutkan ada beberapa tanda haji yang diterima Allah:
Akhlak menjadi lebih baik. Orang yang keras jadi lembut, yang cepat marah jadi penyabar. Haji mengikis ego dan menyuburkan cinta kasih.
Semangat ibadah meningkat. Dari yang jarang ke masjid jadi rajin salat berjamaah. Dari yang malas tahajud jadi rindu bermunajat tiap malam.
Peduli sosial lebih tinggi. Ia menjadi dermawan, tak hanya pada yang dikenal, tapi juga pada yang tak dikenalnya. Kesalehan pribadi berubah menjadi kesalehan sosial.
Jauh dari maksiat. Ia mulai memilah tontonan, pergaulan, dan pembicaraan. Waktu jadi lebih bernilai dan dijaga dari hal sia-sia.
Menebar kedamaian. Tak hanya rajin memberi salam, tapi juga menciptakan suasana tenteram di lingkungannya. Ia membawa “aura Makkah” ke kampung halamannya.
Bukan Akhir, Tapi Awal Perjalanan
Dalam konteks kekinian, menjadi haji mabrur bisa diwujudkan dengan menjadi pribadi yang jujur di kantor, ramah pada tetangga, tidak menyebar hoaks di media sosial, hingga tidak menghalalkan segala cara dalam urusan politik atau bisnis. Sebab mabrur itu bukan gelar, tapi gaya hidup.
Haji yang Tak Sekadar Status
Mari kita sambut para tamu Allah dengan doa terbaik: Semoga hajinya mabrur, dan pulangnya membawa berkah.
Sebab seperti kata ulama besar Imam al-Ghazali, “Haji yang mabrur itu bukan hanya yang sampai di Makkah, tapi yang sampai kepada Allah.” (*)