Pasbana - Di balik tidak adanya tender offer dan aksi beli saham, ada strategi optimalisasi dividen dan kontrol lewat struktur 'vehicle'. Apa dampaknya bagi investor retail dan BUMN perbankan?
Pasar saham sempat riuh saat Menteri BUMN mengumumkan rencana pengalihan pengendalian Bank Syariah Indonesia (BRIS) ke Danantara. Banyak yang berharap akan terjadi aksi beli besar-besaran atau tender offer yang menguntungkan investor ritel. Namun, kenyataannya jauh berbeda.
Mari kita pahami kenapa tak ada cuan instan, apa sebenarnya yang sedang dilakukan negara melalui Danantara, dan mengapa ini penting untuk keuangan negara dan arah baru BUMN. Kita kupas dengan bahasa ringan namun tetap akurat. Mari kita mulai.
1. Bukan Akuisisi, Tapi Restrukturisasi Internal
Kebanyakan investor awam langsung mengaitkan pengambilalihan dengan akuisisi. Harapannya, seperti yang sering terjadi, pengendali baru akan melakukan tender offer—menawarkan pembelian saham dengan harga premium kepada publik.Namun kali ini berbeda. Danantara tidak membeli saham BRIS dari Bank Mandiri (BMRI), Bank Negara Indonesia (BBNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI). Mereka hanya menyusun ulang struktur kepemilikan lewat sebuah entitas baru yang disebut “vehicle”.
Dasarnya jelas:
POJK No.4 Tahun 2018 Pasal 6(b) menyatakan bahwa jika perpindahan pengendali terjadi antar entitas yang dikendalikan oleh negara, tidak wajib dilakukan tender offer.
Artinya: Investor publik tidak berhak menuntut aksi beli paksa dari pengendali baru.
2. Strategi Vehicle: Satu Wadah, Banyak Kuasa
Inilah kunci permainannya: Danantara akan membentuk vehicle (wadah khusus) yang akan memegang saham BRIS.Strukturnya sebagai berikut:
Danantara (BUMN holding): 51%
BMRI, BBNI, BBRI (tiga bank pelat merah): 49%
Saham BRIS disetor sebagai inbreng, bukan dijual.
Apa dampaknya?
BRIS tidak lagi dimiliki langsung oleh tiga bank tersebut
Kendali atas BRIS berpindah ke vehicle, yang dikontrol Danantara
Tidak ada uang tunai berpindah, semua berdasarkan nilai buku (sesuai PSAK 38).
Analogi Sederhana:
Bayangkan tiga kakak kandung menyerahkan mobil mereka ke ayah mereka untuk dikelola lewat sebuah garasi baru. Mereka tidak menjual mobil itu ke ayahnya, hanya menyerahkan untuk diatur bersama. Garasi ini tidak menjual mobil ke luar, tapi mengelola semua keuntungan dan arah pengemudiannya.
3. Dividen: Dulu Menyebar, Sekarang Efisien
Sebelum restrukturisasi ini, saat BRIS membagikan dividen, uangnya tersebar ke berbagai jalur:
10% langsung ke investor publik
Sisanya, lewat BMRI, BBNI, dan BBRI—yang sebagian sahamnya juga dimiliki publik
Hasilnya: Negara hanya menerima sekitar Rp53 dari setiap Rp100 dividen BRIS, sisanya “bocor” ke pasar publik.
Setelah Vehicle?
90% saham BRIS dikuasai vehicle,
Ketika BRIS bagi dividen Rp100, langsung Rp90 masuk ke vehicle,
Negara dapat bagian lebih besar tanpa mengubah kebijakan dividen.
Fakta Menarik:
Dari kebocoran 47% kini hanya tersisa 10%. Langkah ini meningkatkan efisiensi fiskal tanpa menaikkan pajak atau menciptakan gaduh politik.
4. Goodwill & Nilai Vehicle: Apa Tidak Terlalu Mahal?
Beberapa analis bertanya-tanya:“Nilai vehicle Rp86 triliun? Kok bisa tinggi, padahal cuma hasil inbreng?”
Jawabannya: bisa, jika menggunakan metode DCF (Discounted Cash Flow).
Dengan menunjuk penilai independen atau PPJK, vehicle bisa dihargai berdasarkan proyeksi arus kas masa depan.
Contoh kasus yang bisa dijadikan cermin:
GOTO mencatat goodwill Rp93 triliun saat merger Gojek dan Tokopedia. Artinya, valuasi bukan soal nilai saat ini saja, tapi juga potensi masa depan.
5. Ke Mana Uang Dividen Pergi? Kendali Penuh di Tangan Negara
Keunggulan besar lainnya dari skema ini adalah fleksibilitas penggunaan dana.Dividen dari BRIS yang diterima vehicle bisa:
Dibagikan ke BMRI, BBNI, dan BBRI sebagai dividen vehicle
Atau dipakai langsung untuk proyek strategis nasional: jalan tol, pupuk, pertambangan, hingga IKN (Ibu Kota Nusantara).
Karena vehicle bukan perusahaan terbuka (Tbk), ia tidak terikat kewajiban publikasi atau transparansi kepada pasar. Negara jadi lebih leluasa.
Cerdas, Tapi Bukan Untuk Cuan Instan
Bagi investor ritel yang berharap adanya aksi korporasi besar dan keuntungan cepat, kabar ini memang mengecewakan. Tidak ada tender offer, tidak ada harga premium, tidak ada cuan jangka pendek.Namun, dari perspektif makro dan fiskal, ini strategi yang sangat efisien. Negara:
Tidak perlu keluar uang.
Tetap mengontrol BRIS
Meningkatkan aliran dividen
Bisa mendanai proyek besar tanpa utang tambahan.
Tips Praktis untuk Investor:
Pahami bahwa tidak semua aksi korporasi = peluang cuan instan.Pantau struktur kepemilikan emiten, bukan hanya kinerjanya.
Perhatikan aksi non-akuisisi yang berdampak pada dividen atau arah manajemen.
Literasi keuangan bukan hanya soal harga saham, tapi juga soal arah dan strategi negara.
(*)