Notification

×

Iklan

Iklan

Dzuhur: Jeda Langit di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

20 Juli 2025 | 07:07 WIB Last Updated 2025-07-20T00:20:14Z



Pasbana - Di tengah teriknya siang kota dan padatnya notifikasi digital yang tiada henti, ada satu momen yang sering kita lupakan: azan Dzuhur

Ia datang bukan hanya sebagai penanda waktu, tapi sebagai undangan lembut dari langit — untuk berhenti sejenak, bernapas, dan kembali pada Sang Pemilik Waktu.

Bagi banyak orang, pukul 12 siang adalah waktu paling sibuk. Rapat menumpuk, deadline menekan, atau kemacetan menahan napas. 

Tapi justru di saat seperti itu, Islam mengajarkan satu hal yang terkesan ‘tidak produktif’ menurut dunia modern: berhenti. Shalat. Lalu tidur sebentar.
Padahal, di sanalah letak rahasianya.


Istirahat Ilahi di Tengah Terik


Nabi Muhammad SAW bersabda:
Akhiri (tunda) shalat Dzuhur saat panas terik, karena panas itu berasal dari hembusan neraka Jahanam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bukan tanpa sebab. Dalam ilmu kesehatan, suhu tubuh manusia memuncak antara pukul 12.00 hingga 14.00. 

Saat itu, tubuh bekerja lebih keras untuk mempertahankan energi, sementara otak cenderung mengalami penurunan konsentrasi. 

Maka, berhenti sejenak di tengah hari bukan hanya ibadah—tapi juga kebutuhan biologis.

Ulama klasik menyebut waktu Dzuhur sebagai waqtu dhillin — waktu naungan. Di masa Umar bin Khattab RA, istirahat siang (qailulah) setelah Dzuhur dianggap bagian dari gaya hidup sehat dan spiritual:
"Tiga hal yang menyegarkan ruh: menunggu shalat dengan berdzikir, berjalan ke masjid, dan qailulah setelah Dzuhur."


Qailulah: Power Nap ala Nabi


Qailulah bukan tidur malas-malasan. Ia lebih mirip dengan power nap yang kini dipopulerkan para pakar produktivitas seperti Daniel Pink dalam bukunya "When: The Scientific Secrets of Perfect Timing". 

Penelitian dari NASA menunjukkan bahwa tidur siang 10–20 menit dapat meningkatkan kewaspadaan dan performa otak hingga 34%.

Menariknya, qailulah justru disebut oleh tokoh-tokoh Islam klasik sebagai “bahan bakar ibadah malam.” 

Hasan Al-Bashri pernah berkata:
"Jangan tinggalkan qailulah. Ia menguatkanmu untuk shalat malam, sebagaimana sahur menguatkanmu untuk puasa."

Artinya, istirahat siang bukan bentuk kemalasan, tapi investasi spiritual untuk babak kedua hari kita—baik fisik maupun ruhani.


Ketika Malaikat Berkumpul di Langit Siang


Dzuhur bukan sembarang waktu. Dalam salah satu hadis riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah menyebut bahwa saat Dzuhur, malaikat malam dan siang berkumpul dan melaporkan amal manusia:
“Tidakkah kau takut terbakar? Malaikat malam dan siang berkumpul pada shalat Fajar dan Ashar.”

Beberapa ulama menambahkan, ada waktu di siang hari di mana doa-doa akan dikabulkan jika tepat memintanya — dan salah satu waktunya adalah saat Dzuhur tiba.


Bukan Pelarian, Tapi Strategi


Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, salah satu ulama besar abad ke-14, menulis:
"Qailulah mengembalikan semangat, meringankan badan, dan membantu qiyamul lail."

Bagi para pejuang spiritual, qailulah bukan bentuk “lari dari realitas”, tapi cara untuk menjaga agar tetap waras dan terhubung dengan realitas yang lebih tinggi.

Di tengah era yang memuja produktivitas tanpa henti—dari coffee shop ke rapat Zoom, dari laptop ke scroll TikTok—barangkali inilah saatnya kita kembali belajar: jeda adalah ibadah.

Menyusuri Dzuhur, Menyusuri Dirimu Sendiri


Mungkin tak mudah bagi kita hari ini untuk tiba-tiba ‘lepas’ dari dunia pada waktu Dzuhur. Tapi, mungkin juga itulah tantangannya. Bukan soal durasi, tapi tentang keberanian untuk memilih hadir dalam sejenak hening.

Dalam jeda singkat itu, lantai masjid yang dingin mungkin lebih menyembuhkan daripada kafe ber-AC. Dalam empat rakaat Dzuhur yang khusyuk, ada damai yang tak bisa dijanjikan oleh laporan keuangan atau likes Instagram.

Karena saat dunia terus menuntut untuk berlari, Dzuhur justru mengajak kita untuk diam. Dan dalam diam itulah, seringkali jiwa kembali menemukan dirinya.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update