Notification

×

Iklan

Iklan

"Laki-Laki dan Beban yang Tak Pernah Diceritakan"

06 Juli 2025 | 07:58 WIB Last Updated 2025-07-06T00:58:21Z


Kenapa pria sering bungkam tentang stres dan kesehatan mentalnya
“Gimana kerjaan?”
“Aman.”
“Kamu kelihatan capek.”
“Nggak kok.”

Pasbana - Dialog seperti itu bukan hal asing dari mulut seorang laki-laki. Di balik senyum dan bahunya yang tampak kuat, diam-diam ada beban yang dipikul dalam sunyi. Banyak laki-laki memilih untuk memendam stres, ketakutan, dan kecemasan mereka sendiri—terutama yang berkaitan dengan keluarga dan pasangan.

“Pria itu lebih sering memikirkan kesejahteraan orang yang dicintainya dibandingkan dirinya sendiri,” ujar dr. Andri, SpKJ, psikiater dari RS Omni Alam Sutera, yang kerap menangani pasien laki-laki usia produktif dengan keluhan depresi ringan hingga berat.

Ketakutan yang Tidak Pernah Diakui

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), lebih dari 264 juta orang di dunia mengalami gangguan depresi, dan laki-laki cenderung lebih enggan mencari bantuan dibanding perempuan. Dalam banyak kasus, mereka tidak ingin terlihat lemah atau membebani orang lain.

Di Indonesia, data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional (termasuk depresi dan kecemasan) pada penduduk usia di atas 15 tahun mencapai 6,1%, dan angka ini diperkirakan meningkat pasca pandemi.

Laki-laki biasanya tumbuh dengan norma sosial seperti “laki-laki harus kuat”, “jangan cengeng”, atau “jangan curhat, hadapi sendiri”. Akibatnya, banyak dari mereka menanggung tekanan batin dalam diam.

Tak jarang, pria merasa gagal bila tak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. “Ketakutan ditinggal pasangan karena alasan finansial atau kurangnya waktu bersama itu nyata. Mereka tidak mengatakannya, tapi mengalaminya,” tambah dr. Andri.

Kesehatan Mental Bukan Prioritas?

Menurut sebuah studi dari American Psychological Association (APA), pria cenderung mengabaikan tanda-tanda stres kronis. Sebaliknya, mereka lebih memilih bekerja lebih keras, merokok, atau menyibukkan diri, ketimbang membicarakan masalahnya.

“Kesehatan mereka sering di nomor dua-kan. Yang penting keluarga bahagia dulu,” tutur Raka (35 tahun), seorang ayah dua anak yang bekerja di bidang logistik di Jakarta. Ia mengaku baru menyadari pentingnya kesehatan mental saat sempat mengalami panic attack di jalan tol.

“Saya pikir itu cuma masuk angin, tapi ternyata serangan panik karena overthinking. Sejak itu saya mulai curhat, minimal ke sahabat sendiri,” katanya.

Waktunya Mematahkan Stigma

Berbicara tentang perasaan bukanlah kelemahan. Mengakui stres dan meminta bantuan adalah bentuk keberanian, bukan kekalahan.

Kini, banyak komunitas dan platform yang mulai menyuarakan pentingnya kesehatan mental untuk pria, seperti Into The Light Indonesia, Sehat Jiwa Kemkes RI, hingga platform konseling seperti Riliv atau Mindtera.

Bahkan tokoh-tokoh publik seperti Gading Marten dan Baim Wong pernah terbuka mengenai perjuangan mereka menghadapi tekanan batin di tengah sorotan publik.

Langkah Kecil yang Bisa Dimulai Hari Ini:

✅ Berani bercerita kepada orang terdekat (teman, pasangan, atau profesional)
✅ Istirahat cukup dan kenali batas diri
✅ Kurangi “toxic masculinity” dalam pergaulan: kuat bukan berarti diam
✅ Ikut komunitas yang mendukung kesehatan mental
✅ Jangan ragu konsultasi ke psikolog/psikiater, itu bukan hal tabu


Akhir Kata: Kuat Bukan Berarti Diam

Menjadi laki-laki bukan berarti harus menanggung segalanya sendirian. Justru dengan saling berbagi dan jujur terhadap diri sendiri, pria bisa menjadi figur yang lebih kuat, sehat, dan hadir sepenuhnya untuk orang yang ia cintai.

Karena pada akhirnya, kebahagiaan keluarga dimulai dari kesehatan mental ayah dan suami yang terjaga. (*)

Oleh: Sani Tsaka

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update