“Kalau ingin jadi orang besar, marantaulah!”
Pasbana - Demikianlah pesan turun-temurun yang bergaung dari ranah Minang. Sebuah falsafah hidup yang lebih dari sekadar merantau—ini adalah lompatan batin, tekad, dan keinginan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.
Di jantung Sumatera Barat, tradisi ini bukan hanya budaya—ia adalah semacam panggilan suci.
Marantau, atau pergi meninggalkan kampung halaman demi mencari ilmu, pengalaman, dan penghidupan yang lebih baik, telah menjadi bagian dari identitas orang Minangkabau.
Tapi, tahukah kita bahwa jejak marantau ini bukan sekadar romantisme masa lalu?
Ia memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, sejarah para sahabat Nabi, dan bahkan menjadi salah satu alasan mengapa orang Minang begitu piawai dalam dunia usaha, pendidikan, hingga pemerintahan.
Tradisi yang Lahir dari Filosofi Hidup
Begitulah petuah klasik Minang. Artinya, sebelum pemuda dianggap “berguna” di kampungnya, ia harus lebih dulu menjelajah ke luar, mencari pengalaman dan tempaan hidup.
Menurut Budayawan Minangkabau, Prof. Mestika Zed, marantau bukan sekadar berpindah tempat. “Itu adalah proses pendewasaan sosial dan spiritual. Orang Minang merantau bukan karena keterpaksaan, tapi karena dorongan nilai,” ujarnya .
Dalil Al-Qur’an dan Hadis: Merantau Bernilai Ibadah
Ternyata, ajaran Islam pun sangat mendukung semangat marantau ini.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Berjalanlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang sebelum kamu.”
(QS. Ar-Rum: 42)
“Berjalanlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang sebelum kamu.”
(QS. Ar-Rum: 42)
Ayat ini mendorong umat Islam untuk melihat dunia, menimba ilmu dari berbagai tempat, dan belajar dari sejarah peradaban.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:
“Barangsiapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, merantau demi ilmu atau penghidupan halal bukan sekadar aktivitas duniawi, tapi juga bernilai jihad fi sabilillah.
Jejak Para Sahabat: Perantau Sejati dalam Islam
Kisah para sahabat Nabi menunjukkan bahwa merantau adalah jalan kemuliaan. Lihat saja:
Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat terkaya, pernah berhijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tangan kosong. Tapi berkat kerja keras dan kejujuran, ia menjadi saudagar sukses tanpa melupakan nilai Islam.
Mush'ab bin Umair, pemuda tampan dan kaya raya, rela meninggalkan segalanya demi menyebarkan Islam di Madinah. Ia menjadi duta dakwah pertama dan membuka jalan bagi Nabi hijrah ke Yatsrib.
Bahkan para ulama besar seperti Imam Syafi’i juga merantau dari Gaza ke Madinah, Makkah, Kufah, hingga Mesir demi menuntut ilmu.
Begitu juga halnya dengan perjalanan Marantau dari Buya Hamka.
Merantau Masa Kini: Dari Warung Padang hingga Gedung DPR
Menurut data BPS Sumbar (2023), lebih dari 1,2 juta perantau Minang tersebar di luar provinsi. Mereka berkiprah di bidang kuliner, perdagangan, hukum, pendidikan, bahkan politik.
Sebut saja Buya Hamka, ulama dan sastrawan besar yang juga seorang perantau. Atau Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar yang pernah merantau sebagai aktivis dakwah. Juga Basrizal Koto, pengusaha sukses yang merintis bisnis dari bawah di tanah rantau.
Marantau Bukan Melarikan Diri, Tapi Meninggikan Diri
“Orang Minang yang sejati adalah mereka yang pulang membawa ilmu, pengalaman, atau setidaknya inspirasi,” kata Dr. Efrinaldi, pengamat budaya dari UNAND.
Merawat Akar, Menjulang ke Awan
Bagi generasi muda Minang hari ini, marantau tak harus ke pulau seberang—bisa lewat pendidikan tinggi, digital nomad, atau kontribusi di bidang inovasi.
Yang penting, semangatnya tetap sama: Menjadi orang yang lebih berguna, lebih bijak, dan lebih tangguh. Makin tahu Indonesia. (*)