Notification

×

Iklan

Iklan

Menulis, Ciri Intelektualitas yang Tergerus di Ranah Minang?

05 Juli 2025 | 05:42 WIB Last Updated 2025-07-04T23:49:45Z

Oleh: Satria Asmal, SP,CHt,CI,CMT NLP
Penulis buku best seller Spiritual Hypnoteaching

Pasbana - Ranah Minang, tanah yang kaya akan tradisi dan sejarah, tak lepas dari jejak para intelektual dan sastrawan yang karyanya menggema di kancah nasional bahkan internasional. 

Sebut saja nama-nama besar seperti Buya Hamka, yang tulisan dan karya karya nya mendunia, bahkan jika beliau hidup dizaman kita hari ini, beliau lah bapak kreator dan influencer Indonesia, yang melalui karya nya kita menikmati begitu banyak kisah, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Rusli, dan Nur Sutan Iskandar, yang melalui pena mereka, melahirkan mahakarya yang membentuk pemikiran dan kesusastraan Indonesia. 

Buku-buku mereka bukan hanya sekadar cerita, melainkan cerminan pergolakan zaman, nilai-nilai luhur, dan jiwa kritis yang tak lekang oleh waktu. Menulis, pada masa itu, adalah denyut nadi intelektualitas, cara Minangkabau berbicara kepada dunia.

Namun, di tengah hiruk pikuk modernisasi, muncul kekhawatiran: apakah semangat menulis dan membaca, dua pilar penting budaya intelektual, mulai memudar di Ranah Minang? 

Jika dulu menulis adalah manifestasi akal budi dan jiwa, kini seolah ia menjadi barang langka. Malas membaca dan menulis bukan hanya sekadar kebiasaan buruk, melainkan benih kemunduran yang perlahan mengikis fondasi intelektual.


Bangsa dengan Budaya Literasi terendah didunia


Tingkat literasi di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Data UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah dalam hal literasi global. 

Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya angka minat baca, yang hanya sekitar 0,001%, artinya dari 1000 orang, hanya satu yang memiliki minat baca yang tinggi. Generasi indonesia hanya membaca 5 buku pertahun! Apalagi menulis, tentu akan semakin sedikit.

Faktor penyebab rendahnya literasi


Minat baca yang rendah
Banyak masyarakat, terutama generasi muda, lebih tertarik pada konten visual seperti video dan media sosial daripada membaca buku. 

Pengaruh teknologi
Meskipun teknologi bisa menjadi alat untuk meningkatkan literasi, namun kenyataan nya tidak demikian. Konten konten tak bermutu lebih dibanjiri view daripada tulisan dan ide ide bernas. 

Aplikasi aplikasi konten dan hiburan lebih diminati yang tanpa disadari membuat kita pasif dan hanya dijadikan sebagai objek pasar media sosial

Tidak ada pembiasaan

Dilingkungan terkecil, keluarga misalnya, tidak ada pembiasaan sejak dini untuk membaca dan menulis. Malahan hp dijadikan alat asuh paling efektif untuk menggantikan lesibukan orangtua. Sehingga lahirlah anak anak yang diasuh oleh sosial media, tanpa kenal membaca.


Malas Menulis, Hilangnya Jiwa Kritis


Ketika kebiasaan menulis memudar, yang ikut meredup adalah jiwa kritis. Menulis memaksa kita untuk berpikir sistematis, merangkai ide, dan menyampaikan gagasan dengan lugas. 

Ia adalah arena di mana akal memfungsikan diri secara optimal, menelaah berbagai perspektif, dan merumuskan argumen. Tanpa menulis, gagasan-gagasan itu mungkin hanya berputar di kepala, tak pernah terartikulasi, tak pernah tertantang, dan akhirnya, tak pernah berkembang. 

Akibatnya, kemampuan analisis tumpul, dan ruang diskusi yang sehat menyempit.


Lembaga Pendidikan, idealisme literasi yang memudar


Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi para penulis dan pemikir, kini pun dihadapkan pada tantangan ini. Kita merindukan guru-guru yang tak hanya mengajar, tetapi juga menulis. Kita merindukan dosen-dosen yang tak hanya meneliti, tetapi juga mempublikasikan gagasan-gagasannya. 

Ketiadaan model dan dorongan yang kuat di lingkungan pendidikan dapat memperparuk masalah ini, membuat generasi muda kehilangan motivasi untuk mengasah kemampuan literasi mereka.

Bahkan yang kita khawatirkan , diantara yang sedikit menulis itupun orisinalitas ide nya tergadai oleh kemudahan AI dan plagiasi.


Bagaimana Memulainya Kembali?



Membangkitkan kembali budaya menulis dan membaca bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan Ranah Minang yang cerdas dan kritis.


 * Mulai dari Diri Sendiri: Tak perlu menunggu orang lain. 
Mulailah membaca buku-buku yang menginspirasi, dan cobalah menulis tentang apa pun yang menarik perhatian. 

Jurnal pribadi, catatan harian, atau opini singkat bisa jadi permulaan yang baik.

 * Mendorong Lingkungan Literasi: Di rumah, sediakan waktu untuk membaca bersama. Di sekolah, adakan lomba menulis, klub buku, atau kegiatan yang menumbuhkan minat literasi. 

Pemerintah daerah bisa mendukung dengan menyediakan perpustakaan yang nyaman dan mudah diakses.

 * Memanfaatkan Teknologi: Era digital bukan alasan untuk berhenti menulis. Blog pribadi, platform media sosial, atau komunitas menulis daring bisa menjadi wadah untuk berkarya dan berinteraksi dengan penulis lain.

 * Menjadi Teladan: Para tokoh masyarakat, pendidik, dan pemuka adat perlu menjadi contoh. Tunjukkan bahwa menulis dan membaca adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang intelektual Minang.

Membaca adalah jendela dunia, dan menulis adalah rumahnya. Melalui membaca, kita membuka diri terhadap pengetahuan, ide, dan pengalaman orang lain.

Melalui menulis, kita membangun rumah bagi pemikiran kita sendiri, mengabadikan gagasan, dan meninggalkan jejak bagi generasi mendatang. 

Mari bersama-sama menghidupkan kembali tradisi ini, memastikan bahwa intelektualitas Minang terus bersinar melalui pena-pena yang tak pernah lelah berkarya.

Kita ingin generasi ranah minang kembali mencetak sejarah nya, sebagai generasi intelektual yang punya karya  fenomenal, berdampak pada perbaikan bangsa, semoga!

***

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update