Notification

×

Iklan

Iklan

Pasambahan: Diplomasi Elegan Ala Minangkabau yang Mulai Terlupakan

04 Juli 2025 | 15:53 WIB Last Updated 2025-07-04T08:53:22Z


Pasbana - Di balik indahnya alam di ranah Minangkabau, tersimpan seni bertutur yang begitu halus dan berlapis makna. Ia bukan sekadar basa-basi, tapi jantung dari budaya diplomasi orang Minangkabau—Pasambahan namanya.

Pasambahan bukan sekadar salam pembuka dalam sebuah upacara adat. Ia adalah seni berbicara yang sarat dengan etika, simbol, dan filosofi. 

Lahir dari falsafah hidup orang Minang, “Alam Takambang Jadi Guru”, Pasambahan menjadi cerminan bagaimana masyarakat Minang belajar dari alam untuk menyusun kata dan menyampaikan maksud secara elegan dan bermartabat.

Bertutur: Seni dan Strategi Komunikasi Minang


Orang Minang terkenal sebagai ahli bicara. Di banyak perantauan, kemampuan mereka dalam berdiplomasi kerap dikaitkan dengan kecakapan berbicara yang sudah dibentuk sejak kecil, terutama lewat tradisi lisan seperti Pasambahan. 

Dalam adat, setiap ucapan tak hanya dinilai dari maksudnya, tapi juga dari cara menyampaikannya.




Menurut budayawan A.A. Navis dalam bukunya “Alam Takambang Jadi Guru” (1986), alam menjadi inspirasi utama dalam membentuk budaya tutur orang Minang. 

Tak heran, tuturan dari daerah pegunungan yang sejuk seperti Agam atau Tanah Datar terdengar lembut, sementara daerah pesisir seperti Pariaman lebih keras dan lantang—menyesuaikan dengan latar alam tempat mereka tumbuh.

Pasambahan: Ritual, Seni, dan Diplomasi


Pasambahan biasanya muncul dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, pengangkatan penghulu, alek nagari (pesta adat), hingga peresmian surau. Ada yang dinamai Pasambahan Lakuang Tinajuan, Pasambahan Siriah, hingga Pasambahan Mangabakan Alek. Semuanya dilakukan dalam bentuk dialog antara tuan rumah dan pihak tamu atau undangan.




Setiap bait Pasambahan disusun dengan penuh kehati-hatian. Tak sekadar puitis, tapi juga penuh kiasan dan makna filosofis. Kata-kata disusun seperti langkah silat: rapi, terukur, dan penuh strategi. Dalam banyak hal, Pasambahan bahkan menyerupai seni diplomasi tingkat tinggi.

Menariknya, meskipun masyarakat pesisir Pariaman dikenal dengan gaya bicara yang tegas dan keras karena kebiasaan berdialog di tengah deru ombak, mereka tetap mempertahankan keindahan dan etika dalam tradisi Pasambahan. Keras tapi santun, tegas namun berseni.

Mulai Terkikis, Tapi Belum Punah


Sayangnya, arus globalisasi dan gaya hidup serba cepat mulai menggerus tradisi ini. Anak muda kini lebih akrab dengan jargon media sosial dibandingkan kiasan adat. Pasambahan, yang dulu menjadi ajang unjuk kepiawaian berbicara, kini perlahan tersisih, dianggap kuno dan membosankan.

Peneliti budaya dan dosen Universitas Andalas, Dr. Fitri Nurbaiti, mengatakan, bahwa semakin minimnya regenerasi dan pelatihan Pasambahan membuat tradisi ini hanya bertahan di kalangan terbatas, terutama para ninik mamak dan pelaku adat. 

Padahal, di balik tutur sapa adat itu, tersimpan nilai-nilai pendidikan karakter, seperti kesabaran, kecermatan, dan rasa hormat.

“Pasambahan itu bukan hanya pidato adat, tapi latihan berpikir kritis dan kreatif yang membentuk karakter orang Minang sejak dini,” jelasnya.

Menjaga Warisan, Merawat Identitas


Kini, saatnya generasi muda kembali melihat Pasambahan bukan sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai seni komunikasi yang relevan di masa kini. 




Di tengah dunia yang penuh kegaduhan, tutur yang santun dan penuh makna justru menjadi kekuatan.

Beberapa komunitas seni dan budaya di Sumatra Barat sudah mulai bergerak. Mereka menggelar pelatihan Pasambahan di sekolah dan kampus, menghadirkan kelas kreatif yang membungkus tradisi dengan cara yang lebih modern. 

Bahkan, di sejumlah konten digital, kita bisa menemukan video tutorial Pasambahan yang dikemas ringan dan menarik.

Pasambahan bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah warisan yang bisa jadi kompas moral dan sosial, terutama dalam membangun komunikasi yang bijak di tengah masyarakat yang beragam. 

Dan seperti filosofi Minang yang terkenal, “Biduak lalu kiambang batawuik”—biarkan zaman berganti, tapi akar budaya tetap kembali. Makin tahu Indonesia. (*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update