Notification

×

Iklan

Iklan

Cahaya dari Layar, Cahaya dari Bulan

20 Agustus 2025 | 15:35 WIB Last Updated 2025-08-20T08:35:07Z



Pasbana - Sena duduk di kursi putar yang menghadap jendela apartemen kecilnya di bilangan Jakarta Selatan. 

Dari balik kaca, kota berkilau dengan cahaya lampu kendaraan, reklame raksasa, dan gedung-gedung yang tak pernah tidur. 

Tapi yang paling menyilaukan matanya bukanlah lampu jalan, melainkan layar ponsel di genggamannya.

Jari-jarinya lincah, mengetik caption untuk sebuah unggahan:

Malam ini, kita adalah apa yang kita pikirkan. Jangan biarkan dunia meredupkan cahaya dalam dirimu.”

Ia tersenyum tipis, menyesuaikan filter pada foto mangkuk salad yang sebenarnya sudah layu di meja makan. Begitu tombol post ditekan, ponselnya bergetar. 

Notifikasi bermunculan. Puluhan “like”, komentar manis, dan pesan masuk. Bunyi itu seperti tepuk tangan, seperti sorak-sorai penonton imajiner. Tapi ruangan tetap sunyi, dan Sena tetap seorang diri.

---
Telepon yang Mengganggu

Pukul sebelas malam, telepon dari kampung masuk. Nama Raka, adik bungsunya, muncul di layar. Sena mendecak kecil.

“Kenapa tengah malam begini?” gumamnya.

Ia menggeser ikon hijau. Suara panik terdengar dari seberang.

“Kak, Ibu jatuh pingsan. Kata dokter puskesmas harus segera dibawa ke rumah sakit kabupaten. Kakak bisa pulang?”

Sena terdiam. Ia menatap jadwal kerja yang menumpuk di laptop. Besok ada deadline kampanye iklan untuk sebuah perusahaan besar. Honornya lumayan, dan reputasinya sedang naik di kantor.

“Raka, tenang dulu. Bawa Ibu ke rumah sakit. Urus administrasinya. Aku kirim uang sekarang.”

“Tapi Kak, Ibu nyebut-nyebut namamu terus. Beliau pengen Kakak pulang.”

Suara Raka tercekat. Sena menelan ludah.

“Nanti aku atur jadwal, Ra. Kalau bisa selesai cepat, aku pulang.”

Percakapan terhenti. Ponsel kembali sunyi.

---
Cahaya yang Palsu

Sena membuka galeri foto. Ia menemukan potret lama: dirinya kecil, digendong ibu di halaman rumah dengan latar sawah yang menguning. Senyum ibunya lebar, sederhana.

Tanpa pikir panjang, ia unggah foto itu ke Instagram. Caption-nya dibuat panjang, penuh metafora:

Perempuan yang selalu menyalakan cahaya dalam hidupku. Dari lampu minyak di malam-malam desa, hingga doa yang tak pernah padam. Aku berutang segalanya pada Ibu.”

Notifikasi langsung membanjir.
“Masya Allah, anak berbakti sekali.”
“Salut sama kamu, Sen. Selalu ingat orang tua.”
“Semoga ibumu panjang umur.”

Sena menatap layar. Matanya panas, tapi bukan karena tangis. Ada sesuatu yang sesak, bercampur antara rasa bersalah dan rasa lega.

---
Fragmen Ingatan

Cahaya layar berganti menjadi cahaya lampu minyak. Sena kecil duduk di tikar pandan, mengerjakan PR dengan pensil yang hampir habis. Ibunya duduk di samping, sabar mengipasi nyamuk dengan kain lusuh.

“Sena, jangan lupa tambah huruf ‘n’ di kata itu,” ucap ibunya sambil tersenyum.

Kenangan itu melintas cepat, membuat Sena tertegun. Ia menutup mata, tapi suara notifikasi ponsel kembali membangunkannya. Dunia digital memanggil, menenggelamkan kenangan itu ke dasar.

---
Dunia yang Hampa

Besok paginya, kantor sudah menuntut. Rapat daring, revisi konten, briefing iklan. Rekan kerja hanya mengenalnya lewat layar Zoom, semua penuh jargon dan tawa palsu.

Di sela kesibukan, pesan dari Raka masuk lagi.

“Kak, kondisi Ibu makin parah. Dokter bilang harus dijaga ketat. Kalau bisa Kakak pulang hari ini.”

Sena mengetik: “Aku lagi di kantor, Ra. Nanti aku lihat tiket.” Tapi pesan itu tak kunjung ia kirim. Ia ragu.

Di media sosial, unggahannya sudah viral. Banyak akun membagikan ulang foto dirinya dengan ibunya. Komentar-komentar penuh pujian menempel, seperti medali tak terlihat.

Sena menghela napas. Dunia melihatnya sebagai anak berbakti. Tapi kenyataannya? Ia masih di sini, di apartemen sempit, sibuk dengan cahaya layar.

---
Titik Balik

Malam kedua, telepon datang lagi. Suara Raka pecah-pecah.

“Kak… Ibu masuk ruang ICU. Dokter bilang kondisinya kritis. Kalau Kakak mau ketemu, sekaranglah waktunya.”

Dunia seakan berhenti. Sena menjatuhkan ponsel ke lantai. Dadanya sesak.

Ia buru-buru membuka aplikasi tiket. Jari-jarinya gemetar. Penerbangan pertama baru ada subuh. Ia memesannya.

Lalu, tanpa sadar, ia membuka Instagram. Mengetik sebuah status singkat:

Doakan Ibu. Cahaya terbesarku sedang berjuang.”

Ratusan doa dan emotikon tangan terlipat masuk. Dunia maya bergetar. Dunia nyata tetap sunyi.

---
Terlambat

Pesawat mendarat di kota kecil dekat kampungnya. Raka sudah menunggu dengan wajah muram.

“Kak… Ibu sudah pergi sejam yang lalu.”

Kata-kata itu menampar Sena. Ia membeku, menatap kosong.

Mereka berdua menuju rumah sakit. Tubuh ibunya terbujur kaku di ranjang besi. Wajahnya damai, seakan tidur panjang.

Sena menyentuh tangan itu. Dingin.
Air matanya jatuh, kali ini sungguh.

---
Cahaya yang Sebenarnya

Pemakaman berlangsung sederhana. Para tetangga datang, berbisik-bisik.

“Itu anaknya? Jarang pulang, ya.”
“Sayang sekali, padahal ibunya bangga betul sama dia.”

Sena mendengar semuanya. Setiap bisikan seperti paku menancap.

Malam itu, ia duduk di beranda rumah tua. Angin desa lembut, jangkrik bernyanyi. Di langit, bulan purnama bulat sempurna.

Cahaya kuningnya jatuh di wajah Sena. Bukan cahaya layar, bukan cahaya notifikasi. Cahaya ini alami, sama seperti yang pernah menerangi masa kecilnya.

Ia teringat ibunya, duduk di samping lampu minyak, tersenyum sabar.

Air mata mengalir deras. Kali ini, tidak ada penonton, tidak ada “like”. Hanya ia, bulan, dan doa yang terlambat.

---
Epilog

Beberapa hari kemudian, unggahan terakhir Sena masih viral. Banyak yang menulis artikel: “Content Creator Muda, Anak Berbakti yang Kehilangan Ibu.”

Orang-orang menyanjung, mengirim belasungkawa.

Sena membaca semua itu, lalu mematikan ponselnya. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia menatap dunia tanpa layar.

Di kejauhan, lampu rumah tetangga menyala remang. Seperti lampu minyak yang pernah jadi cahaya hidupnya.

Ia bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah semua cahaya yang ia kejar selama ini hanya bayangan semu?
Dan apakah masih ada jalan untuk kembali menemukan cahaya yang sebenarnya?

---
(**) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update