Pasbana - Beberapa waktu terakhir, publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh ulah sejumlah pejabat yang hobi memamerkan kekayaan.
Mulai dari gaya hidup mewah, kendaraan super mahal, hingga kebijakan yang justru terasa tidak pro-rakyat.
Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan sederhana: apakah jabatan masih dipandang sebagai amanah, atau sekadar panggung prestise?
Di tengah kekecewaan masyarakat, suara kritis bermunculan. Namun, alih-alih saling menyalahkan, penting bagi semua pihak—baik masyarakat, pejabat, maupun ulama—untuk mengambil sikap yang lebih bijak.
Suara Masyarakat: Kritis Tapi Elegan
Masyarakat hari ini semakin cerdas dan kritis. Survei LSI (2024) misalnya, mencatat 62 persen publik merasa pejabat kerap tidak transparan dalam gaya hidup maupun kebijakannya.
Namun kritik, jika tidak dikelola dengan baik, sering menjelma jadi caci maki di media sosial.
“Yang dibutuhkan adalah kritik elegan, berbasis data, disampaikan melalui jalur yang konstitusional. Jangan sampai suara rakyat kehilangan martabat hanya karena emosi,” ujar pengamat politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno.
Selain itu, masyarakat juga perlu memperkuat literasi politik. Jangan sampai memilih pemimpin hanya karena pencitraan atau popularitas semata, tetapi benar-benar melihat rekam jejak dan keberpihakannya pada rakyat kecil.
Pejabat: Saatnya Belajar Hidup Sederhana
Di sisi lain, pejabat tentu punya tanggung jawab moral. Pamer kemewahan, apalagi di tengah kondisi rakyat yang sulit, hanya akan memperlebar jarak sosial.
Padahal Islam sudah memberi teladan jelas: Rasulullah SAW hidup sederhana, meski beliau memiliki kesempatan untuk hidup mewah.
Hadis riwayat Bukhari mengingatkan: “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.”
Lebih dari sekadar gaya hidup, pejabat juga dituntut untuk membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
Laporan Bank Dunia (2023) menekankan bahwa kebijakan inklusif—seperti akses kesehatan dan pendidikan murah—adalah kunci mengurangi kesenjangan sosial di negara berkembang.
Ulama dan Tokoh: Menjadi Penyeimbang
Di tengah tarik-menarik kepentingan, ulama dan tokoh masyarakat memiliki peran penting. Mereka bukan hanya penyampai nasihat agama, tetapi juga pengawal moral publik.
“Ulama harus berani bersuara, tapi dengan cara yang penuh hikmah. Jangan diam ketika ada kebijakan yang merugikan rakyat, tapi juga jangan menebar provokasi,” kata KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah tausiyahnya.
Ulama yang berperan sebagai penyeimbang akan membuat umat tidak kehilangan arah. Di sinilah kehadiran mereka menjadi penuntun, bukan sekadar penonton.
Jalan Tengah Menuju Keberkahan
Sejarah mencatat, kehancuran suatu bangsa sering kali bermula dari tiga hal: pemimpin yang zalim, rakyat yang diam, dan ulama yang bungkam. Namun harapan tetap ada.
Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Artinya, perubahan tidak datang dari langit begitu saja. Diperlukan sinergi—masyarakat yang cerdas dan kritis, pejabat yang amanah, serta ulama yang berani dan bijak.
Jika ketiganya berjalan seiring, niscaya keberkahan bukan sekadar harapan, tapi kenyataan.(*)