Pasbana - Apakah kita pernah merasa bersalah hanya karena lupa sebuah nama, janji kecil, atau sekadar meletakkan kunci motor di meja?
Di era digital yang serba terekam, kita terbiasa menganggap lupa sebagai kelemahan, bahkan aib.
Padahal, menurut banyak ulama, psikolog, hingga ilmuwan otak, lupa justru adalah “fitrah ilahi” sekaligus mekanisme alami yang menjaga kewarasan manusia.
Lupa dalam Kacamata Agama: Bukan Aib, tapi Rahmat
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah memaafkan umat-Nya ketika berbuat salah karena lupa atau dipaksa.
Artinya, kelupaan bukanlah sesuatu yang harus kita kutuk, melainkan bagian dari rahmat.
Sejarah Islam bahkan mencatat banyak kisah penuh makna tentang lupa. Misalnya, sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah lupa sepotong ayat ketika diminta Rasulullah untuk membacakan kembali Al-Qur’an.
Dari peristiwa itu, turunlah ayat yang mengingatkan manusia tentang fitrah kelupaan.
Lupa, yang tampak seperti kekurangan, justru melahirkan hikmah besar.
Perspektif Psikologi: Otak Butuh Ruang untuk “Menyapu”
Dalam risetnya yang dipublikasikan di Nature Reviews Neuroscience (2017), ia menjelaskan: otak punya mekanisme untuk “menghapus” atau “menekan” memori yang tidak penting.
Kalau semua hal kita ingat, otak akan kelebihan beban dan sulit mengambil keputusan.
Jadi, lupa bukan kegagalan otak, melainkan strategi alami untuk memberi ruang bagi hal-hal yang lebih penting.
Lupa dalam Kehidupan Sehari-hari: Ruang untuk Pulih
Pernah dengar pepatah “waktu menyembuhkan segalanya”? Itu sejatinya tentang lupa.
Bayangkan jika manusia tidak punya kemampuan melupakan: setiap kesalahan, setiap momen memalukan, setiap luka hati akan selalu terpatri tanpa bisa dihapus.
Hidup pasti terasa lebih berat.
Dalam psikologi kesehatan mental, melupakan luka masa lalu dianggap salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres dan depresi.
Lupa membantu kita melepaskan dendam, rasa sakit, dan kekecewaan, lalu memberi ruang untuk bangkit kembali.
Pandangan Ulama: Lupa sebagai Kecerdasan Spiritual
Menurutnya, orang cerdas bukan yang selalu mengingat kesalahannya, tapi yang mampu melupakannya dan kembali sibuk dengan ketaatan.
Bagi Al-Ghazali, lupa adalah seni melepaskan. Melupakan kebaikan yang kita lakukan agar tidak sombong, melupakan keburukan orang lain agar tidak menyimpan dendam, serta melupakan dunia agar tidak lalai dari akhirat.
Analogi Sederhana: Sungai yang Mengalir
Hidup bisa kita bayangkan seperti aliran sungai. Air yang terus bergerak akan tetap jernih, sementara air yang tergenang, menyimpan semua kotoran, lama-kelamaan akan keruh.
Lupa adalah aliran itu—ia membersihkan kenangan yang tidak lagi berguna, agar jiwa tetap segar.
Menyikapi Lupa dengan Bijak
Lupa memang sering membuat kita kesal, apalagi saat sedang ujian atau rapat penting.
Tapi, mari melihatnya dengan cara berbeda:
Jika lupa pada penghinaan orang lain → hati jadi lebih lapang.
Jika lupa pada kebaikan diri sendiri → amal jadi lebih tulus.
Jika lupa pada luka masa lalu → hidup jadi lebih ringan.
Jika lupa pada penghinaan orang lain → hati jadi lebih lapang.
Jika lupa pada kebaikan diri sendiri → amal jadi lebih tulus.
Jika lupa pada luka masa lalu → hidup jadi lebih ringan.
Tentu, kita tetap berdoa agar selalu ingat pada hal-hal penting: ilmu, janji, kewajiban, dan tentu saja Allah.
Lupa adalah bagian dari hidup yang seharusnya kita syukuri. Ia bukan kelemahan, melainkan karunia.
Dunia digital boleh menyimpan semuanya, tapi jiwa manusia butuh ruang untuk melepaskan.
Jadi, kalau sesekali kamu lupa, jangan buru-buru marah pada diri sendiri. Siapa tahu, itu justru cara Tuhan melindungimu dari beban yang tak perlu.(*)