Pasbana - Hujan baru saja reda. Udara dingin menggantung di udara, menyelusup masuk ke rumah dinas kecil bercat kusam di tepian kampung. Dari jendela, Resmi melihat lampu minyak bergoyang ditiup angin malam.
Suasana kampung begitu senyap, hanya sesekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Dari arah bukit yang menghitam, samar-samar terdengar suara mesin gergaji: para penebang liar belum berhenti, bahkan setelah gelap pekat menutup hutan.
Resmi duduk di kursi kayu, memandangi layar ponselnya yang baterainya hampir habis. Di layar, pesan singkat dari tetangganya di kampung halaman terbaca: “Ibuk masuk rumah sakit sore tadi. Sesak lagi. Sendiri, ndak ado nan mangawani.”
Dadanya mencelos. Ia meremas jemari sendiri. Ibunya sudah renta, sejak ayah meninggal, hanya ditemani sunyi dan tetangga yang sekadarnya. Dan ia, anak satu-satunya, justru terdampar ratusan kilometer di Pasaman, ditugaskan sebagai bidan PTT. Kontrak, katanya. Pengabdian, katanya.
Namun di balik kata-kata itu, ia tahu: gajinya nyaris tak cukup, fasilitas minim, dan dukungan hanyalah poster di kantor camat yang mengelupas.
---
Malam itu, ketika kabar tentang ibunya baru saja mendarat, pintu diketuk keras-keras. Suara laki-laki muda dari luar: “Bidan! Tolong! Bini saya melahirkan! Darahnyo ndak berhenti!”
Resmi tertegun. Detak jantungnya berdentum seperti gong dipukul bertalu. Ia menatap layar ponsel lagi—baterai tinggal 3%. Ia ingin menelepon rumah sakit di kampung ibunya, ingin mendengar kabar lebih detail. Namun panggilan darurat itu nyata, mendesak.
Nyawa seorang ibu tergantung di tangannya.
Ia berdiri. Menyambar tas pertolongan, mantel tipis, lalu membuka pintu. Udara malam menerpa wajahnya, dingin dan getir. “Di mana?” tanyanya cepat.
Ia berdiri. Menyambar tas pertolongan, mantel tipis, lalu membuka pintu. Udara malam menerpa wajahnya, dingin dan getir. “Di mana?” tanyanya cepat.
“Di rumah saya, dekat batang air. Jauh, Bidan. Cepatlah, darahnya banjir!”
---
Langkahnya menyusuri jalan becek. Lampu senter kecil di genggamannya hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan. Jalan licin, suara jangkrik menyayat gelap. Lelaki yang menjemputnya berjalan di depan, tergopoh, sesekali menoleh memastikan bidan itu masih mengikutinya.
Di sela detik-detik itu, pikirannya pecah dua arah. Satu bagian ingin segera pulang ke kampung, menemani ibunya. Satu bagian lagi ditarik oleh panggilan profesi, oleh janji tak tertulis kepada masyarakat kecil ini.
Kenapa selalu harus memilih? batinnya. Ia teringat perdebatan panjang dengan dirinya sendiri setiap kali memandang slip gaji yang tak seberapa, ketika ban motor dinasnya pecah di jalan berbatu, ketika listrik padam berhari-hari.
---
Sampai di rumah papan reyot, suara tangisan perempuan menusuk. Bau darah bercampur bau kayu basah memenuhi udara. Perempuan itu terbaring, wajahnya pucat pasi, keringat dingin menetes dari pelipis. Darah merembes membasahi tikar. Suaminya panik, berlutut di sampingnya.
“Bidan, tolonglah… anak saya lahir, tapi darah bini saya… ndak berhenti!”
Resmi menelan ludah. Ia harus cepat. Tangannya bergerak otomatis: memasang sarung tangan tipis, memeriksa rahim, memberi tekanan, mengikat, menyuntikkan oksitosin seadanya.
Semua keterampilan yang ia dapat di bangku kuliah kini harus bertarung dengan realitas: cahaya hanya dari lampu minyak, alat terbatas, dan suara jantung ibunya sendiri yang terus menggema di telinga.
---
Di sela-sela itu, ponselnya bergetar. Ia melirik: pesan WhatsApp dari sepupunya.
“Res, ibuk sudah dipindah ke ICU. Dokter bilang kondisinya kritis. Cepat pulanglah kalau bisa.”
“Res, ibuk sudah dipindah ke ICU. Dokter bilang kondisinya kritis. Cepat pulanglah kalau bisa.”
Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menjerit, ingin melempar semua alat dan berlari menembus malam pulang ke kampung.
Namun di depannya, seorang perempuan muda menatapnya dengan mata kosong, nyawanya menipis seiring darah yang tak henti.
---
Resmi bekerja bagai mesin. Mengerahkan semua yang ia tahu, semua teknik, semua tenaga. Ia berteriak pada suami si ibu, menyuruhnya merebus air, menyiapkan kain bersih, menahan tubuh istrinya.
Darah mulai berkurang, meski wajah perempuan itu tetap pucat. Bayi kecil menangis di sudut tikar, dibungkus kain lusuh.
Ketika akhirnya pendarahan berhenti, Resmi terduduk. Keringatnya bercucuran. Ia merasa kehilangan waktu, kehilangan kesempatan. Ia merasa seolah ibunya makin jauh, makin sulit digapai.
---
Sepulang dari rumah itu, ia berjalan sendirian. Langit terbuka sedikit, bulan muncul pucat di balik awan. Suara mesin gergaji dari bukit masih terdengar.
Ironi itu menyakitkan: hutan dirusak demi kayu, emas dikeruk dari sungai, sementara bidan desa harus berjuang dengan lampu minyak dan suntikan kadaluarsa.
Ponselnya mati. Tak sempat membaca pesan lanjutan. Ia hanya bisa menatap langit, berbisik lirih, “Ibuk, maafkan Resmi…”
---
Fragmen kenangan melintas.
Masa kecil di beranda rumah: ibunya duduk menampi padi, tangannya cekatan, wajahnya bersinar meski lelah. “Sekolah tinggi-tinggi, Res. Jadilah orang berguna. Jangan jadi orang yang cuma bisa mengeluh.”
Masa kecil di beranda rumah: ibunya duduk menampi padi, tangannya cekatan, wajahnya bersinar meski lelah. “Sekolah tinggi-tinggi, Res. Jadilah orang berguna. Jangan jadi orang yang cuma bisa mengeluh.”
Atau ketika ia lulus bidan, ibunya memeluk erat. “Pergilah, Res. Walau jauh. Kalau ada orang yang sakit, tolonglah. Itu pahala.”
Suara itu kini menjadi gema yang menyesakkan. Apakah pengabdian memang harus seberat ini? Apakah seorang anak harus memilih antara ibunya sendiri dan ibu-ibu lain di tanah asing?
---
Keesokan paginya, kabar buruk itu tiba: ibunya meninggal dini hari. Tanpa sempat ia temani. Tanpa sempat ia genggam tangan terakhir kali.
Resmi terduduk di lantai rumah dinas. Dunia runtuh dalam diam. Ia ingin marah pada dirinya, pada sistem yang membuatnya terdampar di sini, pada dunia yang seolah menuntutnya membelah diri jadi dua.
Di media sosial, ia menulis status singkat:
“Malam tadi aku membantu seorang ibu melahirkan. Nyawanya selamat. Pagi ini aku kehilangan ibuku sendiri. Hidup terasa getir, ironis, tapi mungkin begitulah cara semesta menguji: cinta yang terbesar kadang harus berbagi.”
Ratusan komentar muncul. Teman-temannya dari kota menulis kata-kata simpati, memberi emotikon pelukan. Namun hanya ia sendiri yang tahu, di lubuk terdalam, luka itu tak bisa disembuhkan oleh kata-kata.
---
Hari-hari berikutnya, Resmi terus bekerja. Bayi yang ia tolong lahir itu diberi nama Ibura, diambil dari kata “ibu” karena suaminya tahu siapa yang menyelamatkan istri dan anaknya malam itu. Nama itu jadi semacam penghormatan, meski tak mampu menghapus kehilangan.
Setiap kali Resmi menatap wajah bayi itu, hatinya digelayuti rasa pahit-manis: sebuah hidup yang datang, sebuah hidup yang pergi.
Ia belajar bahwa pengabdian seringkali adalah soal menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa ada di dua tempat sekaligus.
---
Malam demi malam, suara mesin gergaji dari bukit tak pernah padam. Kampung tetap sepi, jalan tetap becek, listrik tetap padam. Gaji tetap kecil, janji pemerintah tetap janji.
Namun Resmi bertahan. Ia tahu, dunia mungkin tak akan memberi penghargaan, tapi ada kehidupan yang berdenyut karena tangannya.
Dan di antara suara jangkrik, tangisan bayi, dan kenangan ibunya, ia menemukan semacam kedamaian getir: bahwa pengabdian, betapapun sunyi dan tak terbalas, tetaplah pilihan yang membuatnya manusia.(*)