Oleh: Nadia Izzati
(Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas)
Pasbana - Sitinjau Lauik selama ini menjadi simbol ketegangan di jalur Padang–Solok. Tikungan tajam, tanjakan ekstrem, dan rentetan kecelakaan membuat kawasan ini menjadi salah satu titik paling berbahaya di Sumatera Barat. Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik akhirnya menghadirkan titik balik.
Proyek yang menelan biaya hingga Rp2,793 triliun ini bukan sekadar upaya teknis untuk menaklukkan medan berat, tetapi juga strategi besar untuk memperbaiki konektivitas dan memperkuat fondasi ekonomi daerah.
Setiap tiang yang berdiri mencerminkan keberanian negara mengambil peran ketika risiko terlalu besar bagi sektor swasta. Pada situasi seperti ini, belanja publik menjadi instrumen yang tidak bisa dihindari.
Pemikiran tersebut sejalan dengan gagasan John Maynard Keynes, yang menegaskan bahwa pemerintah harus meningkatkan pengeluaran ketika mekanisme pasar tidak mampu menyediakan investasi yang dibutuhkan.
Proyek flyover ini lalu berfungsi sebagai stimulus ekonomi yang menggerakkan permintaan agregat, membuka lapangan kerja, dan menghadirkan efek pengganda bagi berbagai sektor di Sumatera Barat.
Belanja Publik sebagai Pemicu Ekonomi Daerah
Proyek besar seperti Flyover Sitinjau Lauik menciptakan denyut ekonomi yang terasa langsung. Pekerja konstruksi, sopir truk, pemasok semen, produsen baja, hingga pedagang kecil di sekitar lokasi proyek merasakan peningkatan pendapatan. Uang yang berputar ini kembali mengalir ke pasar lokal dan memperkuat konsumsi masyarakat, sesuai prinsip multiplier effect dalam teori Keynesian.
Setelah pembangunan rampung, manfaat ekonominya terus berlanjut. Arus distribusi barang menjadi lebih cepat dan murah, biaya logistik dapat ditekan, dan risiko kecelakaan menurun drastis.
Petani di Solok, pedagang di Padang, pelaku UMKM, hingga sektor pariwisata akan merasakan dampaknya. Infrastruktur ini menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan produktif.
Menempatkan Proyek pada Kerangka Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan mengajarkan bahwa keberhasilan suatu proyek harus diukur melalui tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Flyover Sitinjau Lauik menyentuh seluruh aspek tersebut.
Pilar ekonomi terlihat melalui peningkatan efisiensi transportasi dan pengurangan biaya distribusi. Jalur Padang–Solok merupakan simpul perdagangan penting, dan efisiensi tersebut membuka ruang bagi daya saing daerah serta peluang investasi baru.
Pilar sosial menuntut perhatian serius, terutama karena pembangunan ini melibatkan pembebasan lahan yang sebagian merupakan tanah ulayat. Dalam konteks budaya Minangkabau, tanah bukan sekadar aset, tetapi bagian dari identitas komunal.
Partisipasi ninik mamak, lembaga adat, dan masyarakat lokal menjadi kunci untuk menjaga legitimasi sosial proyek. Pembangunan hanya disebut berhasil jika manfaatnya dirasakan warga, bukan hanya ditampilkan di laporan pemerintah.
Pilar lingkungan menjadi tantangan besar. Proyek ini berada di kawasan perbukitan dan menyentuh wilayah hutan lindung yang memiliki fungsi ekologis penting. Rekayasa geoteknik, pengawasan AMDAL, dan reboisasi harus dilakukan secara konsisten untuk menghindari risiko longsor dan kerusakan lingkungan. Kegagalan menjaga ekologi justru akan menciptakan biaya sosial yang jauh lebih besar di masa depan.
Ketika ketiga pilar ini dapat berjalan seimbang, proyek infrastruktur tidak hanya menjadi respons atas kebutuhan saat ini, tetapi juga investasi jangka panjang bagi generasi berikutnya.
Integrasi Keynesian dan Keberlanjutan: Arah Pembangunan yang Ideal
Flyover Sitinjau Lauik menunjukkan bahwa stimulus ekonomi berbasis belanja negara dapat digabungkan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pendekatan ini dikenal dalam kajian ekonomi modern sebagai green Keynesianism, yakni ketika belanja publik difokuskan pada proyek yang tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Prinsip tersebut dapat diterapkan melalui penguatan UMKM lokal sebagai bagian dari rantai pasok, perbaikan ekosistem transportasi yang lebih efisien energi, serta mekanisme pemantauan sosial-lingkungan yang transparan. Dengan begitu, kebijakan fiskal tidak hanya mencetak pertumbuhan jangka pendek, tetapi juga membentuk struktur pembangunan yang lebih resilien.
Tata Kelola dan Transparansi Menjadi Penentu Kepercayaan Publik
Proyek dengan nilai besar selalu membutuhkan tata kelola yang bersih. Transparansi informasi, audit internal dan eksternal, serta pelibatan masyarakat sipil menjadi syarat mutlak agar penggunaan anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kepercayaan publik tidak dibangun melalui beton, melainkan melalui integritas.
Penutup
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui pembangunan Flyover Sitinjau Lauik menunjukkan bagaimana belanja publik dapat menggerakkan ekonomi dan memperkuat konektivitas daerah.
Proyek ini menghadirkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, sekaligus menguji kemampuan negara menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Jika konsisten dikelola dengan prinsip Keynesian dan pembangunan berkelanjutan, flyover ini bukan hanya akan mempermudah perjalanan, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan yang lebih aman, inklusif, dan tangguh bagi Ranah Minang.(*)




