Pasbana - Siapa sih yang tidak pernah bercermin lalu gelisah melihat perut makin menonjol? Perut buncit kerap dianggap sekadar masalah penampilan.
Padahal, di balik lemak yang menumpuk di area perut, tersembunyi risiko serius: dari penyakit kronis hingga menurunnya kualitas hidup.
Dalam perspektif Islam, perut buncit juga dilihat sebagai tanda lalai dalam menjaga amanah tubuh.
Rasulullah SAW pernah berpesan, “Tidaklah anak Adam mengisi wadah yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah beberapa suap untuk menegakkan punggungnya. Jika harus (lebih banyak), maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadis ini terdengar sederhana, namun ternyata sangat relevan dengan ilmu kesehatan modern.
Data Medis yang Menguatkan
Penelitian medis menunjukkan bahwa obesitas sentral (lemak perut) berhubungan langsung dengan risiko diabetes tipe 2, hipertensi, jantung koroner, hingga stroke.
Menurut data World Health Organization (WHO, 2023), lebih dari 1 miliar orang di dunia kini mengalami obesitas, dan angka ini meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1975.
Di Indonesia sendiri, data Riskesdas 2018 mencatat prevalensi obesitas pada orang dewasa mencapai 21,8 persen. Yang lebih mengkhawatirkan, kasus obesitas kini juga banyak ditemukan pada usia muda.
“Lemak di perut lebih berbahaya dibanding di bagian tubuh lain karena dapat menghasilkan zat inflamasi yang merusak pembuluh darah dan organ dalam,” jelas dr. Samuel Oetoro, SpGK, pakar gizi klinik, dalam sebuah seminar kesehatan.
Jejak Kesederhanaan Para Tokoh
Bukan hanya medis, Islam sejak awal sudah menekankan pentingnya pengendalian diri dalam urusan perut.
Umar bin Khattab RA, khalifah kedua yang dikenal tangguh dan sederhana, pernah hanya makan roti kasar dengan minyak zaitun. Ketika ditanya apakah sudah kenyang, beliau menjawab, “Jika perut penuh, syahwat akan buta dan tubuh berat untuk taat.”
Begitu pula Ibnu Rusyd, dokter sekaligus filsuf Muslim dari Andalusia. Dalam kitab Al-Kulliyāt fī al-Ṭibb, ia menulis bahwa banyak penyakit berbahaya justru muncul akibat pencernaan yang rusak atau karena makanan berlebihan. Temuan ini sejalan dengan riset medis modern tentang bahaya overeating.
Pola Makan Seimbang: Sepertiga, Sepertiga, Sepertiga
Pesan Nabi Muhammad SAW tentang pola makan “sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas” bisa dibilang merupakan “diet sunnah” yang paling ideal.
Bahkan, para ahli gizi menyebut prinsip ini mirip dengan konsep calorie restriction dalam diet modern, yang terbukti dapat memperpanjang usia sehat dan menekan risiko penyakit kronis.
Selain mengatur porsi, memperhatikan jenis makanan juga penting. Konsumsi serat dari sayur dan buah, membatasi gula tambahan, serta rutin bergerak 30 menit sehari adalah langkah sederhana namun berdampak besar.
Lebih dari Sekadar Kesehatan
Perut buncit bukan hanya soal fisik. Ia memengaruhi kepercayaan diri, produktivitas, bahkan spiritualitas.
Tubuh yang terlalu berat akan membuat malas beribadah, sulit bangun malam, dan cepat lelah.
Sebaliknya, tubuh yang sehat dan ringan adalah “kendaraan” terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah maupun untuk beraktivitas produktif dalam kehidupan sehari-hari.
Menutup dengan Renungan
Jadi, perut buncit seharusnya kita lihat bukan hanya sebagai masalah penampilan, tapi alarm yang mengingatkan untuk kembali seimbang.
Baik dalam perspektif medis maupun ajaran agama, intinya sama: kendalikan porsi, pilih makanan sehat, dan jangan berlebihan.
Karena sejatinya, makan adalah ibadah—bukan sekadar memenuhi nafsu perut. Dan tubuh yang sehat adalah modal utama untuk beribadah, bekerja, dan berkarya dengan lebih baik.(*)