Notification

×

Iklan

Iklan

Buru Babi: Arena Laki-Laki Minang Menegosiasikan Identitas

09 September 2025 | 15:14 WIB Last Updated 2025-09-09T08:14:33Z


Pasbana - Di sebuah pagi di pedalaman Sumatra Barat, suasana hening perbukitan tiba-tiba pecah oleh gonggongan anjing. Puluhan laki-laki berlarian, sebagian dengan motor, sebagian lagi datang dengan mobil bak terbuka. Mereka bukan hendak berkebun atau menghadiri pesta adat. Mereka berkumpul untuk satu tujuan: buru babi.

Buru babi di Minangkabau bukan sekadar hobi atau olahraga. Ia sudah menjadi tradisi, bahkan dilegitimasi sebagian kalangan sebagai bagian dari adat. Setiap bulan, para pemburu dari berbagai nagari berkumpul, membawa anjing-anjing pilihan yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah. 

Anjing-anjing itu dirawat dengan telaten, kadang lebih dimanja daripada anak sendiri, kata orang-orang kampung dengan nada setengah menyindir.

Tradisi Lama di Tengah Filosofi Adat


Sejarawan Taufik Abdullah (1966) menyebut, praktik ini diyakini sudah ada sejak zaman pra-Islam di Minangkabau. Wajar jika kemudian muncul perdebatan: bagaimana mungkin masyarakat Minang yang sangat menjunjung filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK) masih melegitimasi kegiatan yang melibatkan babi dan anjing—dua hewan yang jelas diharamkan Islam?

Di sinilah uniknya. Dalam banyak upacara adat Minangkabau, peran perempuan selalu hadir—baik sebagai pemilik upacara maupun pengendali keputusan. Namun, dalam buru babi, kaum perempuan sama sekali tidak dilibatkan. 

Tidak ada bundo kanduang yang memberi legitimasi, tidak ada dapur yang ramai dengan masakan adat. Semua kegiatan berlangsung di tangan laki-laki.

Politik Identitas Laki-Laki


Antropolog Zainal Arifin (2010) melihat buru babi sebagai arena politik identitas laki-laki Minang. Dalam masyarakat matrilineal, laki-laki berada di posisi rentan: seorang sumando (suami) hanyalah "tamu" di rumah istrinya. Pepatah menyebutnya seperti “abu di atas tunggul”—mudah sekali diusir bila angin kencang datang.



Buru babi kemudian menjadi ruang tanding. Di sana, laki-laki bisa menunjukkan kejantanan dan keberanian. Anjing-anjing yang berhasil memburu babi bukan sekadar binatang piaraan, melainkan simbol harga diri. Mulut anjing berlumur darah menjadi trofi psikologis, bukti bahwa pemiliknya adalah lelaki tangguh yang pantas dihormati.

Dengan kata lain, aktivitas ini menjadi negosiasi budaya: cara laki-laki menyetarakan posisinya di tengah dominasi adat matrilineal yang memberi kuasa lebih pada perempuan.

Ritual dan Spektakel


Sebelum perburuan dimulai, biasanya ada sambutan adat yang dibuka oleh seorang mamak atau datuak. Pepatah-petitih dilantunkan, menandai bahwa kegiatan ini tidak sekadar hobi, melainkan punya bingkai adat. Setelah itu, puluhan anjing dilepas ke semak belukar. Gonggongan, teriakan pemilik, dan hiruk-pikuk perburuan menjadikan acara ini seperti festival tersendiri.

Namun berbeda dengan perburuan di tempat lain, daging babi hasil buruan tidak dibawa pulang. Babi yang mati ditinggalkan begitu saja di hutan. Artinya, buru babi tidak bermotif ekonomi. Ia murni untuk kepuasan batin, ajang unjuk keberanian, sekaligus olahraga bagi sebagian orang.

Antara Adat, Islam, dan Modernitas


Menariknya, meski Islam sangat kuat dalam identitas Minang, hingga kini buru babi tetap eksis. Organisasi Persatuan Olahraga Buru Babi Indonesia (PORBI) bahkan mengelola kegiatan ini secara formal, dengan jadwal, aturan, hingga turnamen. 




Para anggotanya bukan hanya dari kampung, tetapi juga perantau yang pulang demi mengikuti event bergengsi ini.

Meski demikian, kritik tetap muncul. Aktivitas ini dinilai bertentangan dengan nilai ABS-SBK, juga dianggap tidak membawa manfaat nyata bagi keluarga pemburu. Bahkan ada pandangan sinis: laki-laki Minang kadang lebih sayang anjing buruannya daripada anak sendiri.

Cermin Negosiasi Sosial


Pada akhirnya, buru babi bukan sekadar perburuan. Ia adalah simbol tarik-menarik peran gender dalam masyarakat Minang. Ketika perempuan menguasai garis keturunan, harta, dan legitimasi adat, laki-laki mencari ruang untuk menegaskan eksistensi. Ruang itu mereka temukan di perburuan babi: keras, maskulin, dan sepenuhnya laki-laki.

Tradisi ini menjadi semacam kompromi—sebuah negosiasi kultural agar laki-laki tetap punya “panggung” dalam sistem matrilineal. Bagi sebagian orang, ia adalah olahraga. Bagi lainnya, ia adalah warisan. 

Dan bagi para antropolog, buru babi adalah kaca pembesar untuk melihat bagaimana adat, agama, dan identitas saling bertarung sekaligus berdamai di tanah Minangkabau. Makin tahu Indonesia. (*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update