Notification

×

Iklan

Iklan

Inayah dan ‘Nafa’: Nikmat Keselamatan dan Kebermanfaatan Hidup

10 September 2025 | 07:46 WIB Last Updated 2025-09-10T01:04:01Z


Pasbana - Pernahkah kita merenung setelah menutup layar ponsel, selesai berbelanja online, atau saat baru saja tiba dengan selamat setelah menempuh perjalanan panjang? 

Di balik semua rutinitas itu, ada hal sederhana yang kerap kita lupakan: nikmat keselamatan dan kebermanfaatan hidup. 

Dua hal ini dalam tradisi Islam disebut nikmat inayah dan ‘nafa.

Nikmat inayah adalah ketika kita dilindungi dari bahaya—misalnya pesawat mendarat aman atau motor tiba selamat di rumah.

Sedangkan nikmat nafa adalah ketika kita mendapatkan rezeki yang halal, ilmu yang bermanfaat, atau keluarga yang menenangkan hati. Dua nikmat ini sejatinya adalah fondasi kehidupan.

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya,” begitu pengingat dalam Al-Qur’an (QS. Ibrahim: 34).

Hidup untuk Ibadah, Bukan Sekadar Ritual


Islam memandang ibadah tidak hanya soal shalat atau mengaji. Lebih luas dari itu, ibadah adalah pola hidup

Saat bekerja dengan jujur, saat belajar dengan tekun, hingga saat berdagang tanpa menipu—semuanya bisa menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah.

Sayangnya, banyak orang terjebak dalam pemahaman sempit: ibadah hanya soal ritual. 

Padahal, praktik sehari-hari di ruang kerja, pasar, bahkan dunia digital, juga termasuk ibadah.

Di era belanja online misalnya, kita sering mendengar kasus penipuan. Barang yang datang tidak sesuai pesanan, kualitas jauh dari iklan, atau penjual menghilang begitu saja. 

Padahal dalam Islam, prinsip transaksi sangat jelas: harus ada keridhaan (taradin) dari kedua belah pihak. Tanpa itu, transaksi bisa berubah menjadi haram.

Ketika “Halal” Jadi PR Besar


Fenomena lain adalah soal konsumsi makanan. Laporan LPPOM MUI (2023) mencatat masih banyak produk pangan yang beredar tanpa label halal resmi. 

Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk memilih produk halal mulai meningkat. Hal ini membuktikan bahwa menjaga kehalalan konsumsi bukan lagi sekadar isu agama, tapi juga tren gaya hidup sehat dan aman.

Rasulullah SAW pun pernah mengingatkan bahwa akan datang suatu masa ketika orang tak peduli dari mana harta atau makanannya berasal, halal atau haram (HR. Bukhari). Dan faktanya, kita sudah berada di masa itu.

Bersyukur dalam Aksi Nyata


Lantas, bagaimana cara mensyukuri nikmat Allah? Tidak cukup hanya dengan ucapan alhamdulillah

Bentuk syukur yang sejati adalah menjadikannya sebagai dorongan untuk beribadah.

Jika diberi kesehatan, gunakan untuk berbuat kebaikan.
Jika diberi rezeki, sisihkan untuk berbagi.
Jika diberi keselamatan, jangan lupa membantu mereka yang tertimpa musibah.

Syukur semacam ini akan melahirkan hidup yang lebih bermakna dan jauh dari perilaku menyimpang

Sulit dibayangkan, seseorang yang benar-benar hidup untuk ibadah bisa dengan sengaja berzina, korupsi, atau menipu orang lain.

Menjadikan Hidup Lebih Ringan


Memang, ada kalanya kita merasa “lelah beribadah”. Namun, bukankah bekerja dari pagi hingga malam juga melelahkan? Bukankah perjalanan jauh pun penuh letih? 

Bedanya, lelah ibadah justru bernilai pahala.

Ketika paradigma “hidup untuk ibadah” melekat dalam diri, hidup akan terasa lebih ringan.

Kita sadar, setiap langkah dan aktivitas punya nilai ibadah jika dilakukan dengan ikhlas dan jujur.

Hidup di zaman serba cepat seperti sekarang memang penuh godaan: dari bisnis online yang rawan tipu-tipu, makanan instan yang belum tentu halal, hingga budaya instan yang membuat kita gampang lalai. 

Tapi justru di tengah situasi ini, pesan sederhana Islam terasa relevan: syukuri nikmat dengan beribadah secara menyeluruh.

Dengan begitu, nikmat inayah dan nafa tidak hanya berhenti sebagai teori, tetapi nyata dalam keseharian kita. 

Bukan sekadar selamat di dunia, tapi juga menyiapkan keselamatan di akhirat kelak. (*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update