Pasbana - Di tengah padatnya bangunan dan jalan yang terus menggerus lahan hijau di Kota Padang, secercah harapan tumbuh dari instalasi pipa-pipa putih berisi sayuran hijau segar.
Bukan sawah, bukan kebun luas, melainkan kebun hidroponik yang kini menjadi pilihan banyak warga kota.
Adalah Ferry, pemilik Blasta Hidroponik Padang, yang sejak 2015 konsisten mengajak masyarakat untuk menanam sayuran tanpa tanah.
“Awalnya hanya untuk kebutuhan dapur sendiri. Tapi ternyata banyak yang tertarik, dan sekarang hidroponik bisa jadi usaha tambahan,” ujarnya saat ditemui beberapa waktu lalu.
Menurut Ferry, tren bercocok tanam hidroponik kian diminati, terutama setelah pandemi. Banyak orang yang awalnya sekadar hobi menanam, kini mulai menjadikannya ladang bisnis.
Beberapa peserta pelatihan Blasta bahkan berhasil membuka usaha kecil dan mendapat penghasilan tetap dari hasil panen.
Sebuah riset dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan, tingkat keberlanjutan budidaya sayuran hidroponik di Padang berada di angka 49 persen dalam analisis multidimensi. Angka itu masuk kategori “cukup berkelanjutan”.
Artinya, hidroponik memang punya potensi besar, meski masih perlu penguatan dari sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Fenomena ini sejalan dengan tren global. Data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan, teknologi pertanian perkotaan seperti hidroponik menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan penyusutan lahan dan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat.
Bahkan, Allied Market Research (2023) memproyeksikan pasar hidroponik global akan tumbuh mencapai USD 17,9 miliar pada 2031.
Keunggulan hidroponik adalah efisiensi. Tanaman bisa tumbuh di lahan terbatas—bahkan di halaman rumah atau atap gedung sekalipun. Hasilnya pun lebih cepat dipanen, lebih higienis, dan minim pestisida.
“Dengan 1 meter persegi saja, kita bisa panen beberapa kilogram sayuran. Kalau dikembangkan lebih luas, apalagi dengan sistem rakit apung atau NFT (Nutrient Film Technique), hasilnya bisa jauh lebih produktif,” jelas Ferry.
Di pasaran, sayuran hidroponik seperti selada, bayam merah, kale, hingga pakcoy punya segmen tersendiri. Restoran, hotel, dan kafe modern banyak melirik sayuran organik dan hidroponik untuk menu sehat mereka.
Tak heran, harga sayuran hidroponik bisa 2–3 kali lebih tinggi dibanding sayuran biasa.
Bagi masyarakat perkotaan, hidroponik bukan hanya soal ketahanan pangan, tapi juga peluang usaha dan lapangan kerja baru. Generasi muda pun mulai melihatnya sebagai bisnis masa depan.
“Kalau dulu anak muda enggan jadi petani karena bayangannya harus ke sawah, kotor, dan capek, sekarang dengan hidroponik bisa dilakukan modern, rapi, dan bersih. Bahkan bisa branding produk dengan kemasan cantik,” tambah Ferry.
Melihat tren ini, pemerintah daerah dan lembaga pendidikan diharapkan ikut memberi dukungan, mulai dari pelatihan, akses permodalan, hingga riset pengembangan teknologi hidroponik.
Dengan begitu, pertanian kota bisa tetap hidup meski lahan terus menyempit.
Padang memang terus bertumbuh sebagai kota modern. Namun, di sela-sela gedung dan jalan raya, hidroponik menghadirkan ruang hijau yang produktif.
Padang memang terus bertumbuh sebagai kota modern. Namun, di sela-sela gedung dan jalan raya, hidroponik menghadirkan ruang hijau yang produktif.
Ia bukan sekadar hobi baru, tetapi juga peluang bisnis, solusi pangan, dan masa depan pertanian di perkotaan.
Karena pada akhirnya, menanam bukan hanya soal menghasilkan sayuran, tetapi juga menumbuhkan harapan—bahwa ketahanan pangan tetap bisa dijaga, meski sawah perlahan hilang dari pandangan.(*)