Notification

×

Iklan

Iklan

Makan Bergizi, Tapi Kebijakan Masih Kurang Gizi

27 September 2025 | 10:03 WIB Last Updated 2025-09-27T03:03:32Z


Pasbana - Di atas kertas, Program Makan Bergizi (MBG) terdengar mulia: memberi asupan bergizi untuk anak-anak sekolah. Namun sejak awal, program ini terasa terlalu tersentralistik — serba top-down — seperti resep yang dibuat di dapur pusat, tanpa pernah mencicipi realitas di lapangan.

Prabowo membentuk Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai otak di balik MBG. Ia memilih orang-orang loyal, yang bisa dikendalikan. Tapi mari kita jujur, apakah kompetensi mereka sesuai dengan nama lembaganya?

Kepala BGN Dadan Hindayana memang cerdas — dia pakar serangga dari IPB. Wakilnya? Ada brigjen polisi, mantan jurnalis-politisi, purnawirawan TNI, hingga mantan pejabat Kemenhan. Deputinya? Ada yang mantan direktur SDM BUMN tambang, ada yang ex-Kemendagri.

Yang menarik: dari ketua hingga sekretaris utama, tak satu pun berlatar belakang gizi, nutrisi, tumbuh kembang anak, atau bahkan teknologi pangan. Tidak ada chef profesional yang tahu bagaimana membuat makanan sehat tapi tetap menggoda selera anak-anak.

Ini seperti membuka klinik kebotakan tapi semua pegawainya botak. Atau menggelar festival kuliner tapi juru masaknya tak pernah menginjak dapur.

Masalahnya tak berhenti di situ. Program ini tidak melibatkan guru, tidak menggandeng orangtua murid, tidak melibatkan pemerintah daerah. Padahal, mereka yang paling paham kondisi anak-anak dan selera lokal. Semua serba terpusat, serba komando.

Lalu ketika terjadi masalah? Guru dan kepala sekolah diminta ikut mencicipi makanan untuk mengecek kualitas. Kalau basi atau beracun, mereka yang kena duluan? Bukankah tugas guru mendidik, bukan jadi food tester?

Cerita di lapangan pun membuat kening berkerut. Ada orangtua yang membekali anaknya dengan plastik, untuk menyimpan makanan MBG yang tak sanggup dimakan. Pernahkah dihitung berapa banyak makanan yang akhirnya terbuang?

Dan ketika kasus keracunan terjadi, siapa yang disalahkan? Bukan pejabat BGN, tapi SPPG, tukang masak, bahkan tukang cuci omprengan. Pejabatnya? Masih duduk manis, lalu minta maaf di depan kamera.

Di Jepang ada istilah inseki jinin — mundur karena tanggung jawab. Tak ada drama, tak ada dalih “hanya miskomunikasi” atau “anak-anak belum terbiasa makan enak.” Seorang pejabat yang gagal akan berdiri, menundukkan kepala, meminta maaf, dan melepaskan jabatannya.

Bukan soal kalah, tapi soal martabat. Dengan mundur, mereka menjaga kehormatan institusi dan mengembalikan kepercayaan publik.

Kita pun layak bertanya: sampai kapan kita harus menelan program setengah matang?

Sampai kapan guru dan anak-anak jadi tameng kebijakan yang salah resep?

Kadang, keberanian bukan soal memaksakan program tetap jalan, tapi berani berkata, “kami salah,” lalu memperbaiki. Bahkan jika perlu — ya, mundur.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update