Notification

×

Iklan

Iklan

Memaafkan: Seni Melepaskan Dendam dan Menemukan Kedamaian

02 September 2025 | 09:36 WIB Last Updated 2025-09-02T05:54:09Z


Pasbana - Pernahkah kita merasa dada begitu sesak hanya karena menyimpan luka dari ucapan atau perlakuan orang lain?

Ternyata, rasa sakit itu bisa bertahan lama dan diam-diam menggerogoti hati.

Pertanyaannya: apakah kita mau terus menanggung beban itu, atau justru memilih jalan memaafkan?

Dalam tradisi Islam, memaafkan bukanlah kelemahan. Justru sebaliknya, ia adalah tanda kekuatan jiwa. 

Rasulullah SAW pernah bersabda, Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya kecuali kemuliaan (HR. Muslim). 

Artinya, ketika seseorang memberi maaf, ia tidak kehilangan harga diri, melainkan justru bertambah mulia.

Kisah Bilal dan Abu Dzar: Puncak Kemuliaan dalam Memaafkan


Salah satu kisah paling menyentuh dalam sejarah Islam datang dari sahabat Rasulullah, Bilal bin Rabah RA, dan Abu Dzar al-Gifari RA. 

Saat emosinya tersulut, Abu Dzar pernah memanggil Bilal dengan sebutan yang bernada rasialis. Rasulullah pun menegur keras tindakan itu sebagai sisa-sisa sifat jahiliyah.

Menyadari kesalahannya, Abu Dzar pun menyesal. Ia bahkan merendahkan diri dengan meletakkan pipinya di tanah, lalu meminta Bilal untuk menginjaknya sebagai tebusan.

Namun, apa yang terjadi? Bilal justru mengangkat Abu Dzar dan memeluknya. “Tidak, wahai saudaraku. Aku memaafkanmu demi Allah,” katanya.

Kisah ini bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia mengajarkan kita bahwa memaafkan adalah cara paling elegan untuk mengakhiri dendam. 

Bilal yang dulunya budak, justru menunjukkan kelapangan hati yang jauh lebih mulia daripada balas dendam.

Mengapa Sulit Memaafkan?


Psikolog Universitas Indonesia, Bagus Riyono, Ph.D., pernah menjelaskan bahwa memaafkan adalah proses melepaskan diri dari beban psikologis. 

Orang yang tidak bisa memaafkan biasanya terus terikat pada masa lalu, sehingga energi emosinya terkuras.

Sebaliknya, orang yang memaafkan lebih sehat secara mental dan fisik karena terbebas dari stres berlebih.

Sebuah penelitian dari Journal of Behavioral Medicine bahkan menemukan bahwa memaafkan bisa menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko penyakit jantung. 

Jadi, memaafkan bukan hanya soal pahala atau moralitas, tapi juga bermanfaat nyata bagi kesehatan kita.

Relevansi di Tengah Konflik Sosial


Kita tahu, kehidupan sosial kita sering diramaikan dengan konflik, mulai dari masalah keluarga, perbedaan pendapat di kantor, sampai ketegangan politik di media sosial. 

Sayangnya, sering kali konflik itu berujung pada saling hujat, adu emosi, bahkan anarkisme.

Padahal, jalan keluar sebenarnya bisa dimulai dengan satu kata sederhana: memaafkan. Bukan berarti melupakan atau membiarkan ketidakadilan, tetapi menolak membiarkan dendam menguasai pikiran. Dengan memaafkan, ruang dialog dan rekonsiliasi bisa terbuka.

Sejarawan Muslim kontemporer, Prof. Akbar Ahmed, dalam bukunya Islam Today menulis: “Memaafkan bukan sekadar sikap personal, melainkan fondasi sosial yang bisa menjaga persatuan sebuah komunitas.”

Memaafkan, Jalan ke Damai


Pada akhirnya, memaafkan adalah hadiah untuk diri sendiri. Kita mungkin tidak bisa mengubah orang yang menyakiti, tapi kita bisa mengubah cara hati kita merespons.

Alquran pun mengingatkan: Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan (QS Ali Imran:134).

Jadi, sebelum tidur malam ini, mungkin ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: siapa yang masih kita simpan dalam daftar “tidak termaafkan”?

Mungkin sudah saatnya daftar itu kita hapus. Karena dengan memaafkan, sesungguhnya kita sedang memberi ruang lebih luas untuk bahagia.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update