Pasbana - Ketika malam tampak gulita, bulan hadir sebagai lentera yang menenangkan. Sementara siang, matahari muncul dengan sinar yang membangkitkan kehidupan.
Dua benda langit ini tak pernah gagal memukau manusia sejak dahulu kala.
Bahkan, Al-Qur’an pun menyinggung keduanya dengan cara yang unik: matahari disebut siraj (pelita menyala), sementara bulan disebut munir (yang memantulkan cahaya).
Fakta astronomi hari ini menguatkan makna tersebut. Matahari memang menghasilkan energi dari fusi nuklir, sementara bulan hanya memantulkan 3–12 persen cahaya matahari yang mengenainya.
Tetapi, menariknya, Al-Qur’an tidak sekadar membedakan cahaya fisik, melainkan juga memberi isyarat tentang sosok yang memadukan keduanya: Nabi Muhammad SAW.
Nabi sebagai “Pelita yang Menerangi”
Dalam Surah Al-Ahzab ayat 46, Allah menyebut Rasulullah SAW sebagai sirajan muniran — pelita yang menerangi. Artinya, beliau bukan hanya memantulkan kebenaran, tetapi juga menjadi sumber cahaya hidayah.
Ulama klasik seperti Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa penyifatan ini menggambarkan kesempurnaan: cahaya yang memberi arah sekaligus menghangatkan kehidupan.
Riwayat tentang kelahiran Nabi juga sarat dengan simbol cahaya. Ibnu Hisyam, dalam Sirah Nabawiyah-nya, meriwayatkan bahwa saat Aminah melahirkan, cahaya terang terlihat hingga ke negeri Syam.
Para ulama memandang itu sebagai tanda bahwa Nabi akan menjadi penerang bagi umat manusia.
Cahaya Spiritual, Bukan Sekadar Fisika
Ilmuwan muslim dan ulama tafsir sepakat bahwa cahaya Nabi bukanlah cahaya fisik seperti lampu atau sinar matahari, melainkan cahaya spiritual yang menyinari hati.
Ibnul Qayyim, dalam Zadul Ma’ad, menyebutnya sebagai “cahaya yang lebih terang dari matahari namun lebih lembut dari sinar bulan, karena ia ditangkap oleh mata hati.”
Artinya, siapa pun yang berinteraksi dengan Rasulullah, baik melalui ucapan, akhlak, maupun tuntunan, akan merasakan kedamaian dan bimbingan.
Inilah yang membuat beliau disebut rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dari Syair hingga Sains
Tak hanya para ulama, bahkan penyair sahabat Nabi, Hasan bin Tsabit, menuliskan syair yang terkenal: wajah Rasulullah bagai bulan purnama, dan beliau adalah cahaya bagi seluruh umat.
Syair ini menunjukkan bahwa peran Nabi ibarat cahaya penuntun di tengah kegelapan.
Menariknya, temuan astronomi modern justru memperkuat makna simbolik ini. Jika bulan tidak mendapat cahaya dari matahari, malam akan gelap gulita.
Begitu pula, tanpa Nabi, manusia akan kembali pada kegelapan jahiliyah. Dengan kata lain, Nabi adalah “matahari spiritual” yang memberi kehidupan, sementara umat manusia ibarat bulan yang bisa memantulkan cahaya itu sesuai kapasitasnya.
Relevansi di Era Kini
Di tengah derasnya arus informasi digital, manusia mudah terjebak dalam kegelapan baru: hoaks, konflik, hingga krisis moral.
Di sinilah relevansi cahaya Rasulullah terasa semakin nyata. Beliau meninggalkan dua warisan yang tak lekang waktu: Al-Qur’an dan Sunnah.
Seperti sabdanya dalam hadis riwayat Malik: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.”
Warisan ini adalah “sumber energi” spiritual yang bisa terus dipantulkan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kita mendekat pada nilai-nilai itu, semakin teranglah cahaya yang memandu langkah.
Merayakan Maulid, Merayakan Cahaya
Peringatan Maulid Nabi yang banyak digelar di Nusantara sesungguhnya bukan sekadar tradisi seremonial.
Lebih dari itu, ia adalah momentum untuk menyadari kembali kehadiran cahaya Nabi dalam kehidupan. Dari masjid, surau, hingga ruang-ruang keluarga, gema salawat mengingatkan kita bahwa cahaya itu tidak pernah padam.
Sejarawan Islam, Imam Al-Baihaqi, bahkan menyebut “Nur Muhammad” sebagai awal mula penciptaan alam.
Dengan begitu, setiap kali kita merayakan Maulid, sesungguhnya kita sedang merayakan hadirnya cahaya yang menjadi fondasi kehidupan itu sendiri.
Matahari dan bulan tetap akan beredar sesuai hukum alam. Namun, cahaya Rasulullah SAW menembus batas ruang dan waktu.
Ia tidak hanya menyinari Arab abad ke-7, tetapi juga menembus hati miliaran manusia hingga kini.
Tugas kita hanyalah menjadi “bulan” yang setia memantulkan cahaya itu dalam kehidupan sehari-hari—meski kecil, sinarnya tetap memberi arah dalam kegelapan.(*)