Pasbana - Di sebuah nagari kecil di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat, bunyi gedogan—alat tenun tradisional—masih terdengar ritmis. Di rumah-rumah kayu Pandai Sikek, tangan-tangan terampil ibu-ibu pengrajin sibuk memainkan benang emas dan perak, merangkai motif-motif yang sejak ratusan tahun lalu diwariskan oleh leluhur mereka.
Dari situlah lahir kain songket Pandai Sikek, mahakarya tekstil Minangkabau yang kini diakui sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia.
Lebih dari Sekadar Kain
Bagi masyarakat Minangkabau, songket bukan sekadar kain untuk dikenakan dalam upacara adat atau pernikahan. Ia adalah simbol status sosial, doa, sekaligus penanda identitas. Motif-motif yang ditenun penuh detail bukanlah hiasan belaka.
Ada pucuak rabuang yang melambangkan harapan generasi muda tumbuh kuat seperti rebung, atau saluak laka yang mencerminkan kebersamaan dan gotong royong. Setiap helai benang bercerita tentang filosofi hidup masyarakat Minang yang kaya akan nilai.
“Kalau orang Minang bilang, songket itu bukan hanya pakaian, tapi juga marwah,” ujar Nurlela (56), seorang penenun yang sudah 40 tahun melestarikan tradisi ini.
Proses Panjang yang Penuh Kesabaran
Membuat songket Pandai Sikek tidak bisa dikejar dengan target pabrik. Dalam seminggu, satu pengrajin mungkin hanya mampu menyelesaikan beberapa sentimeter kain. Prosesnya panjang: mulai dari pemintalan benang, penyusunan motif, hingga mengikat benang perak atau emas dengan teknik khusus yang membuat motif terlihat timbul.
Satu lembar kain songket bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Tak heran bila harganya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah, tergantung motif dan tingkat kerumitan. Harga yang sepadan, karena setiap kain adalah karya seni unik yang tak mungkin persis sama satu dengan lainnya.
Tantangan Zaman Digital
Meski keindahannya mendunia, nasib songket Pandai Sikek sempat berada di ujung tanduk. Minat generasi muda untuk menjadi penenun menurun drastis, tergoda oleh pekerjaan yang dianggap lebih menjanjikan. Padahal, tanpa regenerasi, tradisi ini bisa saja hilang.
Kabar baiknya, kini ada geliat baru. Sejumlah komunitas kreatif dan perancang busana mulai mengangkat kembali songket ke panggung nasional dan internasional.
Pemerintah pun telah memasukkan Tenun Songket Pandai Sikek sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO sejak 2021, mendorong promosi sekaligus perlindungan hukum bagi para pengrajin.
Dari Rumah Gadang ke Catwalk Dunia
Beberapa tahun terakhir, desainer muda Indonesia semakin sering memadukan songket Pandai Sikek dalam rancangan modern. Tak hanya dipakai dalam acara adat, songket kini tampil di runway internasional—dari Kuala Lumpur hingga Paris. Padu padan songket dengan gaya kontemporer membuatnya bisa diterima generasi muda tanpa kehilangan ruh tradisinya.
“Anak-anak sekarang suka yang stylish. Jadi kami coba bikin outer atau tas dengan bahan songket. Biar mereka bangga pakai, bukan hanya simpan di lemari,” kata Rizky, desainer asal Padang Panjang yang aktif mengusung kain tradisional Minang.
Menenun Masa Depan
Pelestarian songket Pandai Sikek tak bisa hanya diserahkan kepada pengrajin. Dukungan pemerintah, dunia pendidikan, hingga konsumen sangat penting. Beberapa sekolah di Tanah Datar bahkan mulai memasukkan pelajaran menenun dalam kurikulum muatan lokal. Harapannya, anak-anak tak sekadar mengenal songket dari cerita, tapi juga bisa merasakan proses membuatnya.
Kini, di tengah arus globalisasi yang serba cepat, Pandai Sikek tetap menjaga ritme tenunannya: perlahan, teliti, penuh makna. Sebuah pengingat bahwa warisan budaya tidak hanya untuk dikenang, tapi juga untuk terus dihidupkan.
Seperti benang emas yang tak pernah pudar meski dimakan usia, kilau songket Pandai Sikek seakan berkata: “Kami ada, kami lestari, dan kami akan terus menenun cerita.”
Makin tahu Indonesia. (*)