Pasbana - Asap tipis kembali menutup sebagian langit Sumatera Barat. Dari Solok hingga Lembah Harau, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali jadi ancaman nyata. Hingga pertengahan Agustus 2025, lebih dari 1.500 hektare lahan sudah terbakar.
Di balik angka itu, ada hutan yang gundul, udara yang makin berat dihirup, dan lahan produktif warga yang musnah.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap musim kemarau, Sumbar masuk dalam peta rawan karhutla di Indonesia. Tahun ini, BMKG mencatat beberapa wilayah bahkan mengalami 60 hari tanpa hujan—cukup lama untuk membuat rumput, semak, hingga gambut kering kerontang dan mudah tersulut api.
Menjawab situasi ini, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menggelar Rapat Koordinasi Penanganan Karhutla di Padang, pertengahan Agustus lalu. Rapat ini dipimpin oleh Frenky E. Riupassa, Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara dan Kesatuan Bangsa.
“Karhutla bukan hanya urusan daerah. Ini persoalan nasional yang memerlukan kerja bersama,” tegas Frenky. Ia mengingatkan, koordinasi antar-instansi menjadi kunci, mulai dari pencegahan, pemadaman, hingga penegakan hukum bagi pembakar lahan.
Rakor ini mempertemukan berbagai unsur: TNI, Polri, BPBD, BMKG, Dinas Kehutanan, Kejaksaan, Manggala Agni, hingga kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA). Kehadiran banyak pihak menunjukkan bahwa karhutla memang tidak bisa ditangani sendirian.
Berdasarkan laporan BPBD Sumbar, hingga 20 Agustus 2025 tercatat 96 kejadian karhutla dengan luas lahan terdampak 1.520 hektare. Wilayah Solok menjadi episentrum dengan 78 persen kebakaran terjadi di sana. Beberapa titik api bahkan meluas hingga kawasan wisata Lembah Harau, yang biasanya jadi destinasi favorit wisatawan.
Kondisi ini membuat operasi pemadaman harus ekstra. Dari darat, pasukan TNI, Polri, dan relawan berjibaku. Dari udara, teknologi modifikasi cuaca digunakan untuk memicu hujan buatan. Salah satunya berhasil memadamkan kebakaran di Nagari Paninggahan, Kecamatan Junjung Sirih, Kabupaten Solok, dengan luas terbakar 83 hektare.
Pemadaman memang penting, tapi para pemangku kebijakan mengingatkan bahwa pencegahan adalah kunci utama. “Kami berharap Sumbar tidak hanya cepat tanggap, tetapi juga mampu membangun sistem pencegahan yang kuat,” kata Frenky.
Sistem pencegahan ini mencakup banyak hal: edukasi masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar, penguatan peran Masyarakat Peduli Api di desa-desa, hingga rehabilitasi lahan yang sudah rusak.
Dalam kunjungan ke Solok, tokoh adat setempat bahkan menyuarakan harapan agar pemerintah menindaklanjuti dengan program rehabilitasi dan reboisasi. Tanpa itu, lahan bekas terbakar akan semakin rentan dan berpotensi terbakar lagi di musim kemarau berikutnya.
Karhutla bukan hanya soal asap. Dampaknya bisa panjang: kesehatan warga terganggu, produktivitas pertanian turun, hingga aktivitas ekonomi dan pariwisata terganggu. Pada 2015, misalnya, Bank Dunia mencatat kerugian ekonomi akibat karhutla di Indonesia mencapai Rp 221 triliun—angka yang jauh lebih besar dibanding kerugian dari letusan gunung atau gempa bumi dalam periode yang sama.
Dengan proyeksi iklim global yang makin ekstrem, tantangan ini tidak akan makin ringan. Indonesia, termasuk Sumatera Barat, harus menyiapkan strategi jangka panjang agar karhutla tidak terus jadi “agenda tahunan”.
Rapat koordinasi di Padang hanyalah satu langkah awal. Sisanya, kerja keras masih panjang. Kolaborasi antar-instansi, partisipasi masyarakat, hingga kesadaran individu akan menentukan seberapa besar kita bisa melindungi hutan, lahan, dan udara yang kita hirup setiap hari.
Karhutla adalah pengingat: menjaga alam bukan sekadar kewajiban pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Karena ketika hutan terbakar, bukan hanya pohon yang hilang, tetapi juga masa depan kita bersama.(*)