Notification

×

Iklan

Iklan

Tawasul: Jalan Lembut Mengetuk Pintu Langit

21 September 2025 | 08:00 WIB Last Updated 2025-09-21T01:13:02Z


Pasbana - Pernahkah kita merasa doa yang kita panjatkan seolah menggantung di langit-langit kamar? 

Lisan sudah bergerak, tangan terangkat, hati bergetar, tetapi entah kenapa terasa seperti belum “sampai”. 

Dalam momen seperti itu, sebagian ulama menyarankan satu cara lembut untuk mengetuk pintu langit: tawasul.

Apa Itu Tawasul?


Secara sederhana, tawasul adalah “meminta kepada Allah sambil menyebut sesuatu yang Allah cintai”. 

Bisa dengan menyebut amal baik yang pernah kita lakukan, nama-nama-Nya yang indah (asmaul husna), atau menyebut kemuliaan para nabi dan orang saleh di hadapan-Nya.

Tujuannya bukan karena Allah “membutuhkan” perantara, tetapi karena kita mengakui kelemahan diri. Kita berharap doa lebih mudah diterima karena dibungkus dengan sesuatu yang mulia.

Ulama besar seperti Imam An-Nawawi (mazhab Syafi’i) menyebutkan dalam kitab Al-Majmu’ bahwa tawasul adalah amalan yang dianjurkan, selama tetap diarahkan kepada Allah, bukan kepada makhluk.

Hidup Setelah Mati: Ruh Tetap Mendengar


Landasan lain dari praktik tawasul adalah keyakinan bahwa orang yang wafat tidak benar-benar “hilang”. 

Ruh tetap hidup dalam alam barzakh. Al-Qur’an menegaskan,
Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka mati. Sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154)

Rasulullah ﷺ pun bersabda bahwa orang-orang yang telah meninggal mengetahui ketika kita berziarah ke makam mereka (HR. Al-Baihaqi). 

Maka tidak heran bila tradisi ziarah kubur dan mengucap salam kepada para penghuni kubur menjadi bagian dari cara umat Islam menjaga hubungan spiritual dengan mereka yang sudah mendahului.

Kisah Sahabat Buta yang Melihat Kembali


Salah satu kisah yang paling sering dijadikan dalil tawasul adalah cerita seorang sahabat buta yang datang kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ketika hajatnya belum terpenuhi, ia menemui sahabat lain, Utsman bin Hunayf, yang mengajarkan doa khusus.

Sahabat itu diminta berwudhu, shalat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa tawasul kepada Nabi ﷺ. Tak lama kemudian, matanya sembuh dan penglihatannya kembali pulih.

Kisah ini disebutkan dalam beberapa kitab hadits, antara lain oleh At-Thabrani dan Al-Hakim, dan dinyatakan shahih oleh sejumlah ulama.

Adab & Batasan


Namun, ada hal penting yang harus dipahami. Tawasul yang benar tetap meminta kepada Allah, bukan kepada orang yang dijadikan perantara.

Misalnya, kita berdoa,
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi-Mu…”
Bukan,
“Wahai Nabi, berilah aku ini dan itu.”

Karena hanya Allah yang berkuasa memberi manfaat atau mudarat. Perantara hanyalah bentuk penghormatan.

Perbedaan Pendapat Ulama


Tawasul termasuk isu yang diperdebatkan ulama (khilafiyah). Ada yang membolehkan, seperti mayoritas ulama mazhab Syafi’i dan Hanafi, ada pula yang menolak jika dilakukan kepada orang yang sudah wafat.

Kita bisa memilih pendapat mana yang kita yakini benar, tanpa menjadikan perbedaan ini sebagai sumber perpecahan.

Bahkan Al-Qur’an mengajarkan,
Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Hasyr: 10)

Menutup dengan Harapan


Pada akhirnya, doa adalah senjata orang beriman, dan tawasul hanyalah salah satu cara untuk mempertajam senjata itu.

Yang terpenting, hati tetap tertuju pada Allah, penuh harap, dan merasa rendah di hadapan-Nya.

Seperti kata Imam Ibnul Qayyim, doa itu ibarat panah di malam hari: semakin tulus hati yang memanah, semakin tepat sasaran.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update