PASBANA – Sejarah mencatat, Sumatera Barat (Sumbar) duduk di atas ‘supermarket bencana’. Bukan hanya terancam gempa Megathrust yang memicu tsunami 200 tahunan, wilayah ini juga dikelilingi oleh sesar darat aktif.
Catatan masa silam menunjukkan, kunci ketangguhan sebetulnya telah dimiliki oleh nenek moyang Minangkabau.
Dalam diskusi Catatan Masa Silam, Pemimpin Redaksi Langgam ID dan peneliti sejarah bencana, Yose Hendra, memaparkan bahwa peringatan 16 tahun gempa dahsyat 30 September 2009 seharusnya menjadi momentum untuk belajar dari sejarah, bukan sekadar mengingat luka.
Inti dari ancaman di Sumbar bukanlah pertanyaan jika bencana datang, melainkan kapan. Wilayah ini dikepung oleh dua ancaman seismik utama.
1. Ancaman 200 Tahunan: Jam Tsunami Terus Berdetak
Sumbar dikelilingi oleh dua zona gempa raksasa: Sesar Sumatera di daratan dan Zona Subduksi di Samudra Hindia (bawah Mentawai) yang menjadi pemicu gempa laut .
Data sejarah mencatat bahwa gempa yang berpusat di Zona Subduksi ini pernah menghantam Padang dengan dampak yang luar biasa, yakni:
- Gempa dan Tsunami 1797: Terjadi pada malam hari, gelombang tsunami diperkirakan mencapai ketinggian 3 hingga 4 meter .
Dampak terparah terlihat di sekitar Muaro Padang dan Pantai Air Manis, bahkan menenggelamkan kapal yang sedang berlabuh.
- Gempa dan Tsunami 1833: Kejadian berulang 36 tahun kemudian.
Siklus Megathrust: Para ahli geologi memperkirakan bahwa siklus pengulangan Megathrust di zona ini terjadi dalam rentang waktu 200 tahunan .
Dengan rentang waktu terakhir di tahun 1833, kekhawatiran mengenai terulang kembalinya siklus besar ini menjadi sangat relevan.
Menariknya, gempa 2009 (7,6 SR) yang merenggut 1.195 korban jiwa, tidak menimbulkan tsunami karena pusat gempanya berbeda. Gempa tersebut berpusat di daratan Padang Pariaman (di sekitar Tandikek) dan bukan di zona subduksi .
2. Sesar Darat yang Menyimpan "Tsunami" Danau
Selain ancaman laut, ancaman dari Sesar Sumatera di daratan juga memiliki riwayat keganasan yang berulang.
Gempa darat paling terkenal adalah Gempa Padang Panjang 1926, yang sebetulnya lebih tepat disebut "Gempa Dataran Tinggi Padang" karena merusak luas dari Padang Panjang, Bukittinggi, hingga kawasan sekitar.
Berdasarkan penelitian sejarah, gempa 1926 ini bersumber dari aktivitas dua segmen sesar, yaitu Segmen Siano dan Segmen Sumani.
Air Danau Naik Tinggi: Gempa ini dilaporkan memicu 'tsunami' di Danau Singkarak. Air danau naik drastis, mencapai kawasan pinggir seperti Malalo dan Kacang .
Pengulangan 2007: Siklus gempa darat ini terbukti berulang saat gempa 6 Maret 2007 terjadi di lokasi yang sama. Di Malalo, air Danau Singkarak dilaporkan naik hingga hampir mencapai puncak batang kelapa.
Kontras Tragis: Konstruksi Modern Vs. Kearifan Lokal
Tragedi gempa 2009 menyingkap ironi pahit: rapuhnya konstruksi modern. Banyak bangunan di Padang Pariaman terbukti minim besi pada tiang atau kolomnya.
Bahkan, gedung-gedung yang seharusnya kokoh (seperti Hotel Ambacang dan kantor Bappeda) banyak yang hancur atau mengalami kerusakan berat (istilah lokal: rebah kuda) .
Kondisi ini sangat kontras dengan warisan mitigasi yang pernah ditorehkan di masa lalu:
Pelajar dari Kolonial Belanda: Setelah dilanda banjir besar tahun 1907, Pemerintah Kolonial Belanda justru bergerak cepat. Mereka membangun Banda Bakali dan membuat sodetan dari Batang Arau melalui Rumah Sakit M. Jamil hingga ke Banda.
Proyek mitigasi ini menjadi warisan infrastruktur yang besar, bahkan peresmiannya pada 1911 dirayakan secara meriah.
Rahasia Rumah Gadang: Nenek moyang Minangkabau sejatinya telah adaptif dengan ancaman gempa. Rumah Gadang terbukti memiliki arsitektur dan struktur yang aman dari gempa, jarang sekali ditemukan roboh total (rebah kuda) .
Prinsip yang digunakan adalah fleksibilitas, dengan:
Tidak menggunakan paku permanen.
Menggunakan pondasi Umpak (batu sandi) di bawah tiang, memungkinkan pergeseran ringan saat terjadi guncangan tanpa membuat bangunan runtuh .
Tidak menggunakan paku permanen.
Menggunakan pondasi Umpak (batu sandi) di bawah tiang, memungkinkan pergeseran ringan saat terjadi guncangan tanpa membuat bangunan runtuh .
Mendesak Regulasi dan Ketegasan Pemerintah
Pemerintah saat ini—mulai dari BNPB, BPBD, hingga pemerintah daerah—perlu segera memasukkan pembelajaran sejarah ini ke dalam kebijakan konkret:
-Literasi Konstruksi: Memperketat syarat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan perspektif tahan gempa, termasuk standar pondasi dan struktur bertulang.
-Penegakan Zonasi Tsunami: Menghentikan pembangunan di zona merah tsunami dan memastikan jalur serta tempat evakuasi (shelter) memiliki aksesibilitas yang baik.
-Adopsi Kearifan Lokal: Mengkaji ulang dan mengekstrak pengetahuan lokal, khususnya desain Rumah Gadang, untuk diterapkan ke dalam bentuk regulasi dan pola pembangunan modern yang tangguh.
Sejarah mencatat bahwa rumah-rumah yang dibangun lebih kuat setelah Gempa 1926 terbukti selamat saat gempa pengulang 2007 datang.
Ini membuktikan bahwa belajar dari bencana dan membangun ketangguhan adalah satu-satunya cara untuk bertahan di tanah yang terancam siklus gempa. Makin tahu Indonesia.(*)