Notification

×

Iklan

Iklan

AI di Ruang Redaksi: Kawan Baru, Bukan Tukang Kudeta

03 Oktober 2025 | 06:32 WIB Last Updated 2025-10-02T23:41:14Z


Pasbana - Ada satu “anggota redaksi” baru yang makin rajin disebut-sebut dalam rapat redaksi media massa: kecerdasan buatan alias AI

Kehadirannya bikin sebagian jurnalis merasa waswas, seolah-olah robot bakal mencuri kursi kerja mereka. 

Tapi mari jujur: kursi jurnalis itu bukan sekadar soal mengetik cepat atau merangkai kata, melainkan soal nurani, etika, dan kepekaan pada realitas. Dan itu—syukurlah—belum bisa diretas oleh mesin.

Justru, AI seharusnya diperlakukan sebagai asisten redaksi yang gesit, bukan sebagai “pemred pengganti” yang rakus.

Bayangkan, ia bisa mengurus kerjaan rutin yang bikin kepala jurnalis kerap pening: menyalin wawancara panjang jadi teks, menulis skor bola dengan data akurat, hingga mendeteksi salah ketik sebelum editor sempat disalahkan pembaca yang cerewet. 

Dengan begitu, energi jurnalis bisa difokuskan pada hal yang lebih mulia: menggali fakta, menganalisis tren, dan menyingkap kebenaran yang tak kasat mata.

Lebih jauh, AI juga bisa menjadi kaca pembesar bagi lautan data. Ia mampu menebak topik apa yang bakal ramai dibahas publik besok pagi, memetakan minat audiens, hingga membantu jurnalis investigasi menemukan pola tersembunyi dalam ribuan dokumen. 

Tapi tentu saja, semua kecanggihan ini hanya berguna bila ada tangan manusia yang menuntun. 

Sebab, AI bukan nabi—ia bisa salah, bahkan bisa bias.

Di sinilah etika jadi jangkar. Konten apa pun yang lahir dari bantuan mesin harus tetap disunting, diverifikasi, dan diberi sentuhan kemanusiaan. 

Lebih baik pembaca tahu sejak awal: “artikel ini dibantu AI”, ketimbang redaksi pura-pura suci padahal sudah separuh kerja diserahkan ke algoritme.

Transparansi seperti ini justru menambah kepercayaan, bukan menguranginya.

Lalu, bagaimana dengan jurnalis? Alih-alih panik dan sibuk menulis status “kami akan digantikan robot”, lebih baik mulai belajar bahasa baru: bahasa mesin.

Redaksi harus berani melatih jurnalis untuk paham potensi dan keterbatasan AI. Kalau jurnalis dan AI bisa saling bersinergi, kombinasi keduanya bisa melahirkan jurnalisme yang lebih tajam, cepat, sekaligus manusiawi.

Singkatnya: AI itu bukan ancaman, melainkan rekan kerja. Ia kawan baru di meja redaksi yang siap mengerjakan pekerjaan “kerikil” agar jurnalis bisa fokus menggarap “gunung”. 

Hanya saja, jangan sampai kawan ini dibiarkan jadi bos besar yang mengatur semuanya. Sebab, ujung-ujungnya, jurnalisme tetap soal manusia yang menulis untuk manusia.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update