Pasbana - Sore di kaki Bukit Barisan itu dingin dan berembun. Di sebuah warung kayu berdinding anyaman bambu, dua aroma berbeda bersaing di udara — gosong halus daun kopi sangrai dan rempah manis jahe yang mengepul dari panci besar. Dua minuman tersaji di atas meja: Aia Kawa dan Sarabba.
Dua minuman hangat. Dua cerita tentang ketahanan.
Dua cara orang Minang menolak lupa pada masa lalu.
Aia Kawa: Secangkir Perlawanan dari Daun Kopi
Tak ada yang lebih sederhana dari Aia Kawa — “kopi daun” yang lahir di masa susah, ketika biji kopi bukan milik rakyat. Pada masa tanam paksa Belanda, petani Minang harus menyerahkan seluruh hasil panen. Tak ada yang tersisa untuk diseduh di rumah.
Namun, dari keterbatasan, lahirlah keajaiban.
Daun kopi yang biasanya terbuang dikeringkan, disangrai perlahan hingga hitam, lalu diseduh dengan air panas. Rasanya ringan, tapi pekat. Aromanya samar, seperti gabungan teh dan tanah basah.
Minuman ini bukan sekadar pengganti kopi. Ia adalah simbol perlawanan diam — cara orang Minang menikmati hasil bumi mereka sendiri di tengah tekanan penjajahan.
Yang membuatnya kian istimewa, penyajiannya bukan di gelas, tapi batok kelapa — tampuruang. Minum Aia Kawa seperti kembali ke masa lalu: sederhana, jujur, dan hangat.
Biasanya diseruput pelan, ditemani gorengan pisang kapik.
Sore yang dingin pun berubah menjadi nostalgia.
Sarabba: Ramuan Hangat yang Menguatkan
Jika Aia Kawa adalah simbol kesederhanaan, maka Sarabba adalah pelukan hangat dari rempah.
Minuman ini lahir dari tradisi pesisir barat Sumatera yang banyak bersentuhan dengan budaya Bugis dan Makassar. Kini, Sarabba menjadi bagian dari identitas kuliner Minangkabau modern, terutama di daerah pesisir selatan.
Sarabba dibuat dari campuran jahe, gula aren, santan, dan kuning telur. Rasanya pedas-manis, lembut, dan sedikit berminyak — memanaskan tenggorokan dan perut dalam sekejap. Dulu, para nelayan dan petani Minang meminumnya untuk melawan dingin malam dan menambah tenaga.
Ketika panci besar Sarabba diangkat dari tungku, aromanya seperti menyapa: wangi jahe dan karamel gula aren menembus udara, mengundang siapa pun yang lewat untuk singgah.
Dua Tradisi, Satu Jiwa
Aia Kawa lahir dari keterbatasan, Sarabba dari kehangatan.
Yang satu pahit dan ringan, yang lain manis dan pekat.
Namun keduanya sama-sama menyimpan cerita tentang daya hidup dan kearifan lokal Minangkabau.
Di tengah gempuran kafe modern, dua minuman ini bertahan. Bukan karena tren, tapi karena makna.
Setiap tegukan adalah cerita — tentang leluhur yang berjuang, tentang alam yang memberi, dan tentang rasa yang tak lekang dimakan waktu.
Kini, Aia Kawa dan Sarabba kembali naik daun.
Anak muda Minang menyajikannya di kafe-kafe bergaya rustic, dihidangkan dalam batok kelapa atau gelas tanah liat. Mereka meneguk masa lalu dengan cara masa kini.
Dan siapa pun yang pernah mencicipinya tahu —
bahwa hangatnya dua cawan ini bukan hanya dari suhu airnya,
tapi dari sejarah yang masih menyala di dalamnya. Makin tahu Indonesia.
(*)
bahwa hangatnya dua cawan ini bukan hanya dari suhu airnya,
tapi dari sejarah yang masih menyala di dalamnya. Makin tahu Indonesia.
(*)




