Pasbana - Kita ini bangsa yang pandai mengubah hobi jadi drama. Termasuk urusan memotret orang lari pagi. Fenomena “fotografer jalanan” belakangan bikin gaduh jagat maya—bukan karena hasil jepretannya, tapi karena wataknya yang mulai mirip “preman berkamera.”
Awalnya sederhana: fotografer ingin menangkap momen orang-orang yang berlari melawan dirinya sendiri. Hasilnya lalu dijual ke si pelari sebagai kenang-kenangan.
Tapi di negeri yang setiap hal kecil bisa jadi bahan debat nasional, ide sederhana pun bisa berubah jadi perkara moral dan etika digital.
Pelari merasa wajah mereka dijadikan komoditas tanpa izin. Fotografer merasa keringat dan tenaga mereka patut dihargai.
Dua-duanya benar—tapi dua-duanya juga sering lupa soal komunikasi. Yang satu merasa dirugikan, yang lain merasa tidak salah. Jadilah perang status di media sosial, lengkap dengan pasukan netizen bersenjata opini.
Belum selesai soal etika, muncul babak baru yang lebih kocak: “wilayah kekuasaan fotografer.” Di beberapa titik populer, ada yang sampai melarang fotografer lain masuk area liputan mereka.
Seolah trotoar sudah diwariskan turun-temurun dan siapa yang mencoba motret tanpa izin akan “diamankan.” Premanisme gaya baru, hanya saja senjatanya bukan golok, melainkan kamera DSLR.
Padahal kalau mau sedikit waras, semua bisa selesai dengan satu kata ajaib: pemberitahuan. Di luar negeri, peserta lomba lari sudah tahu sejak awal bahwa mereka akan difoto dan di mana bisa mengakses hasilnya.
Transparansi membuat semuanya adem. Tapi di sini, spanduk “Terima kasih kepada sponsor” lebih sering dipasang daripada pengumuman soal hak privasi.
Masalahnya bukan di jual-belinya foto, tapi di caranya. Sebab di balik setiap frame ada manusia, bukan sekadar objek visual. Dan manusia, sepeluh apapun wajahnya di garis finish, tetap berhak menentukan di mana fotonya muncul.
Etika fotografi publik seharusnya soal empati, bukan gengsi. Soal menghormati momen, bukan memonopoli spot. Kamera seharusnya menangkap cahaya, bukan ego.
Andai semua mau sedikit menurunkan ISO kesombongan dan menaikkan aperture empati, mungkin kita bisa melihat gambaran besar yang lebih jernih: ruang publik milik bersama, dan setiap klik seharusnya merekam rasa hormat, bukan klaim wilayah.
Sampai saat itu tiba, mari kita akui satu hal: yang kabur dalam foto bukan hanya objek yang bergerak, tapi juga batas antara etika dan ambisi. (*)




