Pasbana - Di Bukittinggi, sejarah tidak hanya tersimpan di buku pelajaran atau museum yang berdebu. Ia bernafas, berbicara, dan berjalan bersama langkah para wisatawan yang menapaki jejak masa lalu.
Di kota berhawa sejuk di jantung Sumatera Barat ini, setiap sudut seolah menyimpan potongan cerita bangsa—dari denting Jam Gadang yang ikonik hingga lorong sunyi di Lobang Jepang yang menyimpan memori kelam penjajahan.
Kini, Pemerintah Kota Bukittinggi tak sekadar ingin menjual pesona alam atau kuliner rendangnya yang melegenda. Lewat tangan dingin Dinas Pariwisata, kota kecil penuh sejarah ini tengah berbenah menjadi “kota edukatif”, tempat di mana pelesiran juga berarti belajar dan mengenal jati diri bangsa.
“Pelestarian destinasi wisata sejarah bukan cuma menjaga bangunan atau monumen. Ini tentang menjaga ingatan kolektif masyarakat Bukittinggi,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kota Bukittinggi, Rofie Hendria, saat ditemui, Senin (20/10).
“Kami ingin sejarah tetap hidup—bukan hanya di buku, tapi juga di hati setiap pengunjung.”
Bukittinggi dikenal dengan sejumlah destinasi yang menjadi ikon dan saksi perjalanan panjang kota ini: Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, Lobang Jepang, hingga deretan jenjang-jenjang bersejarah seperti Jenjang Seribu yang tersohor di kalangan wisatawan.
Semua itu kini dikelola secara berkelanjutan dan partisipatif oleh Dinas Pariwisata.
Tujuannya bukan hanya agar destinasi tampak cantik di mata kamera wisatawan, tapi juga agar setiap pengunjung pulang membawa sesuatu yang lebih berharga: pemahaman tentang sejarah dan identitas Minangkabau.
“Setiap sudut di Bukittinggi punya cerita,” ujar Rofie. “Kami ingin pengunjung merasakan pengalaman yang autentik—dari mendengar kisah perjuangan rakyat di Fort de Kock, hingga memahami bagaimana kota ini menjadi pusat pergerakan nasional pada masa kemerdekaan.”
Langkah pelestarian itu dilakukan dengan cara yang modern dan relevan. Pemerintah kota kini menerapkan sistem informasi digital di berbagai titik wisata.
Setiap pengunjung bisa memindai kode QR yang berisi informasi historis, foto arsip, bahkan video singkat tentang peristiwa masa lalu.
Tak hanya itu, pemandu wisata juga dibekali pelatihan rutin agar bisa menyampaikan kisah sejarah dengan cara yang menarik, bukan sekadar membaca teks hafalan.
“Wisata sejarah harus hidup. Kalau pemandunya membosankan, siapa yang mau dengar cerita panjang tentang kolonialisme?” canda salah satu pemandu muda di kawasan Jam Gadang.
Selain itu, Pemko Bukittinggi menggandeng sekolah, komunitas sejarah, dan pelajar dalam kegiatan seperti heritage walk, tur edukatif, dan edukasi lapangan.
Cara ini terbukti efektif menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap sejarah lokal.
Program Heritage Walk Bukittinggi misalnya, kini menjadi salah satu daya tarik baru bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Rutenya menghubungkan Jam Gadang – Fort de Kock – Lobang Jepang dalam satu jalur tematik yang mudah diakses. Konsepnya sederhana: berjalan santai sambil belajar sejarah di tempat kejadian sebenarnya.
Konsep wisata edukatif atau edutourism memang tengah naik daun secara global.
Menurut laporan UNESCO (2024), wisata berbasis edukasi dan sejarah memiliki pertumbuhan rata-rata 12% per tahun, karena semakin banyak wisatawan yang mencari makna dan nilai dari setiap perjalanan mereka.
Tren serupa juga terlihat di Indonesia. Data Kemenparekraf menunjukkan, destinasi bertema budaya dan sejarah seperti Yogyakarta, Solo, dan Bukittinggi selalu masuk dalam daftar kunjungan wisatawan tertinggi setiap tahunnya.
Bukittinggi punya modal besar untuk itu. Selain punya warisan kolonial yang terjaga, masyarakatnya juga masih sangat menghormati sejarah dan tradisi. Ini kombinasi yang jarang ditemui.
Lebih dari sekadar menghidupkan sektor wisata, program pelestarian sejarah di Bukittinggi juga mengajarkan sesuatu yang lebih dalam—bahwa mengenal masa lalu adalah cara terbaik menjaga masa depan.
Melalui perjalanan singkat di kota ini, wisatawan tidak hanya memotret keindahan menara Jam Gadang atau panorama Ngarai Sianok, tapi juga menyelami kisah perjuangan dan kebanggaan masyarakatnya.
“Kami ingin Bukittinggi dikenal bukan hanya sebagai kota wisata, tapi juga kota yang mendidik,” tegas Rofie Hendria.
“Wisata sejarah bukan sekadar nostalgia, tapi cara untuk memahami siapa kita sebenarnya.”
“Wisata sejarah bukan sekadar nostalgia, tapi cara untuk memahami siapa kita sebenarnya.”
Dan mungkin benar, di Bukittinggi, sejarah memang tak pernah benar-benar berlalu. Ia hanya berganti cara untuk diceritakan — kini lewat langkah kaki para pelancong yang datang dari berbagai penjuru. Makin tahu Indonesia.
(*)