Notification

×

Iklan

Iklan

Dinamika Wajah Media di Indonesia

24 Oktober 2025 | 10:48 WIB Last Updated 2025-10-24T03:48:07Z
 


PasbanaBagaimana perubahan kecepatan dan struktur bisnis mengubah wajah jurnalistik Indonesia.

Saat ini terlihat industri media nasional seakan berdiri di persimpangan besar. Di satu sisi ada media massa yang berdiri kokoh — atau setidaknya berusaha — menjaga kredibilitas, tata redaksi, dan struktur pekerjaan yang mapan. 

Di sisi lain, muncul “kuasa baru”: influencer dengan ponsel, serta media-alias yang muncul begitu cepat, ringan, dan tanpa beban tanggung-jawab redaksi yang klasik.

Keduanya sama-sama menegaskan punya pengaruh — namun logikanya sangat berbeda: satu seperti kapal besar yang butuh kru lengkap, waktu dan biaya; satunya seperti jet ski yang meliuk cepat di permukaan air.

Kenapa “kalah cepat” jadi masalah besar
Masalah utamanya sederhana namun cukup getir: struktur biaya media massa klasik sudah terlalu “gemuk” untuk dunia yang bergerak dengan kecepatan notifikasi. Riset terbaru menunjukkan bahwa banyak media di Indonesia mengalami krisis: banyak jurnalis yang di-PHK, perubahan model bisnis, tekanan digital. 

Contohnya: dari ide liputan hingga berita tayang sering melibatkan wartawan lapangan, fotografer, editor, redaktur, copy editor, hingga administrasi. Sedangkan influencer cukup bermodal ponsel, persona, dan keberanian untuk mengomentari apa yang sedang tren. 

Homeless-media (“media jalanan”, bukan nama resmi) malah sering tak memiliki wartawan tetap—tapi mampu tampil seperti media: berita diambil dari media besar, diedit ulang, diberi framing emosional, lalu disajikan seolah hasil investigasi eksklusif. Murah, efisien — dan anehnya banyak dipercaya publik.

Data akademik memperlihatkan bahwa persepsi kredibilitas media online di Indonesia bermasalah: studi menunjukkan bahwa dimensi-dimensi seperti kecepatan, interaktivitas, akurasi berbeda persepsinya dibanding media tradisional. 

Klien bingung antara “visibilitas” dan “kredibilitas”

Bagi klien—termasuk pemerintah atau korporasi—keadaan ini menjadi tambah membingungkan. Kadang visibilitas dianggap sama dengan reputasi. Media besar diminta menghasilkan “viral”, padahal yang mereka jual adalah kredibilitas jurnalisme. Sementara influencer atau “homeless media” menjual virality — dan membungkusnya dengan narasi reputasi.

Hasilnya: pasar ilusi terbentuk, di mana kecepatan lebih dihargai daripada kebenaran.

Struktur biaya menjadi faktor utama. Anggaran besar untuk media besar mungkin hanya cukup untuk satu minggu liputan nasional; sementara untuk influencer atau media ringan, anggaran itu bisa digunakan untuk kampanye viral dengan jutaan tayangan. Maka, tak heran jika lembaga publik—yang ingin cepat muncul—tertarik ke opsi yang murah dan cepat.

Namun yang jadi concern: uang publik bukan sekadar untuk “exposure” — seharusnya juga untuk membangun kepercayaan publik.

Realitas bisnis media waktu digital
Sebagian riset menunjukkan: konvergensi digital mengubah peta bisnis media di Indonesia. Iklim pengiklanan bergeser ke platform besar (seperti Google dan Meta), sehingga media tradisional kehilangan porsi distribusi dan pendapatan. 

Lebih lanjut: survei menunjukkan bahwa di antara para jurnalis dan editor, 44,1% menyatakan tantangan terbesar adalah “digital disruption & perubahan perilaku audiens”. Dengan kata lain: media besar harus berubah—atau tersingkir.

Tantangan new media dan influencer
Influencer dan “homeless media” memang punya keunggulan: kecepatan, kedekatan persona, kemampuan mencapai audiens yang mungkin jenuh dengan wajah “korporasi media besar”. Tapi – tanpa struktur redaksi dan tanggung jawab etik yang jelas, risiko munculnya konten setengah benar, framing emosional, hoaks, atau manipulasi meningkat.

Contoh riset: inisiatif literasi media di Indonesia menunjukkan bahwa program yang melatih pengguna internet untuk mengenali mis-info mampu memperbaiki kemampuan mereka dalam memilah konten. 

 Ini menegaskan bahwa tantangan bukan hanya “hoaks” secara kasar, tapi “manipulasi setengah benar”.

Tiga pihak + satu publik = keseimbangan yang rumit

Untuk memperjelas:
Media massa: harus kembali ke akar jurnalisme — bukan hanya jadi mesin berita cepat, tapi menjadi pembuat makna, guna publik.

Influencer / media ringan: diakui eksistensinya, tapi harus punya transparansi—darimana berita, siapa pendana, bagaimana verifikasi.

Pemerintah/korporasi: harus berhenti menggunakan media sebagai toa kebijakan; komunikasi publik bukan soal “mengumumkan keberhasilan” tapi membangun kepercayaan warga.

Publik sendiri tak boleh pasif: literasi media di Indonesia selama ini cukup berhenti di level “bisa membedakan hoaks”. Padahal situasinya kini lebih halus: manipulasi emosi, framing, algoritma yang memahami kita lebih dari kita memahami diri sendiri.

Jalan ke depan: bukan kesatuan penuh, tapi “keseimbangan”

Membangun “ekosistem kredibilitas” bukan sekadar satu meja kerja yang mempersatukan semua pihak—karena insentif mereka berbeda. Media ingin bertahan, influencer ingin dikenal, publik ingin terhibur—kita tidak bisa memaksakan semua dalam satu model. Tapi kita bisa membuat aturan main yang jelas, konsekuensi nyata, dan sistem yang menyeimbangkan.

Contohnya:
Media massa bisa memperkuat liputan mendalam, riset berbasis data, storytelling manusiawi;

Influencer bisa menyampaikan konten kreatif, tapi dengan label “kerjasama berbayar” atau “sponsored” secara jelas;

Pemerintah bisa menggunakan anggaran bukan sekadar untuk “placement” atau “publisitas”, tapi untuk hasil nyata dan transparan—misalnya audit independen efektivitas komunikasi publik;

Publik bisa ditingkatkan literasi medianya—tidak hanya “cek fakta”, melainkan “cek motif”: siapa yang berbicara, untuk siapa, dan bagaimana prosesnya.

Menanam ulang akar kepercayaan
Akhirnya, kita mungkin tidak akan kembali ke situasi media seperti dulu. Tapi dari “reruntuhan” itulah bisa tumbuh generasi baru: jurnalis yang sadar bahwa kebenaran bukan barang dagangan, kreator yang sadar bahwa transparansi adalah modal kepercayaan, publik yang tidak lagi hanya menjadi konsumennya klik, tetapi pembaca yang berpikir.

Media kecil tapi jujur lebih berguna daripada media besar tapi busuk. Influencer yang transparan lebih berharga daripada yang piawai akting. Pemerintah yang mau dikritik lebih berdaya daripada yang sibuk membingkai kenyataan. Publik yang cerdas lebih berbahaya bagi kebohongan daripada seribu algoritma.

Karena pada akhirnya: media bukan hanya soal “siapa yang bicara paling cepat”, tapi “siapa yang bicara paling benar—dan bisa dipertanggungjawabkan”.
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update