Padang, pasbana — Di tengah gempuran film-film bergenre aksi dan fantasi di layar bioskop, sebuah kisah sederhana dari Ranah Minang hadir membawa aroma nostalgia dan kehangatan keluarga.
Film berjudul “Nia, Gadis Minang Penjual Gorengan” produksi Smaradana Pro bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah cermin kehidupan sehari-hari yang sarat pesan moral.
Jumat (24/10/2025) siang, tim produksi film ini bersilaturahmi dengan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah di ruang rapat Istana Gubernur, Padang.
Dalam pertemuan hangat itu, aroma kopi dan semangat anak muda Minang berpadu dalam satu cita: menghadirkan karya film yang berakar pada nilai budaya dan keluarga.
Produser Smaradana Pro, Nandito Johar, menuturkan bahwa film ini lahir dari kegelisahan terhadap menurunnya perhatian orang tua, khususnya sosok ayah, terhadap peran keluarga di era modern.
Melalui karakter Nia—seorang gadis Minang penjual gorengan yang tangguh—film ini ingin menegaskan bahwa kasih sayang dan keteladanan bisa tumbuh dari kehidupan paling sederhana.
“Kami ingin menginspirasi, terutama para ayah agar lebih dekat dengan anak-anaknya. Film ini juga sarat nilai pendidikan karakter, sehingga kami berharap bisa ditonton oleh pelajar SD hingga SMA,” ujar Nandito.
Ia menambahkan, Smaradana Pro berencana menggandeng berbagai pihak—dari pelaku usaha, perhotelan, hingga komunitas pendidikan—untuk mendukung promosi film, termasuk kegiatan nonton bareng (nobar) bagi pelajar di berbagai daerah Sumatera Barat.
Gubernur Mahyeldi menyambut hangat gagasan tersebut. Ia menilai film lokal seperti Nia bisa menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK)—falsafah hidup orang Minang yang mulai tergerus zaman.
“Film adalah media kuat untuk menyampaikan pesan moral dan budaya. Kami tentu mendukung karya yang menggambarkan kehidupan masyarakat Minang dan mengajarkan nilai positif,” tutur Mahyeldi.
Menurutnya, film seperti Nia dapat menjadi salah satu cara memperkuat pendidikan karakter anak muda tanpa harus menggurui. “Lewat cerita yang hangat dan dekat dengan keseharian, nilai-nilai itu bisa tersampaikan lebih natural,” tambahnya.
Bagi Sumatera Barat, yang kaya akan kisah dan nilai luhur, film Nia bisa menjadi pemantik kebanggaan baru: karya anak nagari yang tidak hanya menghibur, tapi juga mengedukasi dan menginspirasi.
Di tengah obrolan ringan itu, terselip optimisme bahwa Nia, Gadis Minang Penjual Gorengan akan lebih dari sekadar film. Ia bisa menjadi simbol bahwa cerita sederhana dari warung pinggir jalan pun mampu menyalakan percikan kesadaran tentang pentingnya keluarga dan budaya.
Seperti gorengan hangat yang disajikan sore hari, film ini diharapkan menghadirkan rasa yang akrab, menenangkan, dan membekas di hati penontonnya.
“Kami ingin film ini menjadi kebanggaan Sumatera Barat, bukan hanya karena kisahnya, tapi karena pesan moral yang dibawanya,” tutup Nandito dengan senyum optimis.
Dan dari ruang rapat di Istana Gubernur Padang itu, harapan pun menguar—bahwa cerita kecil tentang Nia mungkin saja akan menjadi langkah besar bagi kebangkitan film budaya Minangkabau.
(*)




