Pasbana - Bagi pecinta kuliner Minang, ada satu hidangan yang namanya mungkin jarang terdengar, tapi sekali mencicip, sulit dilupakan: Gulai Gajeboh.
Hidangan ini kerap dijuluki “surga bagi pencinta lemak”, dan bukan tanpa alasan.
Bukan Gulai Biasa
Jika biasanya gulai Minang disajikan dengan santan kental dan warna kuning keemasan, Gulai Gajeboh justru menempuh jalur berbeda. Kuahnya berwarna merah tua, pedas-asam menyegarkan, tanpa setetes pun santan.
Rasa gurihnya bukan datang dari kelapa, melainkan dari lelehan lemak sapi yang perlahan menyatu dengan bumbu.
“Rahasia kelezatannya justru di situ. Lemak sapi dimasak pelan-pelan sampai meleleh dan membentuk minyak alami yang menggantikan fungsi santan,” kata seorang Chef Masakan Minang.
Lemak, Sang Pemeran Utama
Dalam istilah lokal, “gajeboh” berarti sandung lamur, bagian daging di sekitar punuk sapi yang kaya jaringan lemak dan kolagen. Teksturnya kenyal, empuk, dan menggoda.
Rasio lemak dan dagingnya bisa mencapai 3:1 — dan bagi banyak orang Minang, semakin berlemak, justru semakin nikmat.
Saat dimasak, potongan gajeboh akan perlahan melepaskan aroma khas yang gurih dan menggoda. Kuahnya yang pedas-asam membuat sensasi lemak tidak terasa enek, melainkan hangat dan “berisi”. Inilah harmoni yang membuat gulai ini begitu istimewa — berani, intens, dan memanjakan lidah.
Langka tapi Legendaris
Meski termasuk kuliner khas Minang, tidak semua rumah makan Padang menyajikan Gulai Gajeboh. Alasannya sederhana: bahan bakunya sulit didapat dan tidak semua orang bisa menikmati rasa lemak yang dominan.
Hidangan ini biasanya muncul di rumah makan tradisional atau acara khusus, seperti alek nagari (pesta adat).
Di Payakumbuh, Bukittinggi, atau Padang Panjang, beberapa warung masih mempertahankan menu ini sebagai hidangan kebanggaan. Di antaranya RM Uni Yani di Bukittinggi dan RM Selera Minang di Padang Panjang, yang dikenal karena gulai gajebohnya yang melegenda.
Jejak Budaya di Setiap Sendok
Bagi masyarakat Minangkabau, makanan bukan sekadar soal rasa, tapi juga tentang filosofi dan identitas.
Lemak dalam gulai gajeboh sering dianggap sebagai simbol “kelebihan rezeki” — sesuatu yang jarang, mewah, dan hanya dinikmati saat istimewa.
Kalau orang Minang bilang, gajeboh itu makanan untuk yang sudah siap menikmati hidup.
Peringatan: Lezat Sekaligus “Berisiko”
Meski lezatnya tiada tanding, gulai gajeboh jelas bukan menu untuk setiap hari. Kandungan lemaknya yang tinggi membuat dokter dan ahli gizi menyarankan untuk menikmatinya secara bijak.
Meski lezatnya tiada tanding, gulai gajeboh jelas bukan menu untuk setiap hari. Kandungan lemaknya yang tinggi membuat dokter dan ahli gizi menyarankan untuk menikmatinya secara bijak.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2022), konsumsi lemak jenuh berlebihan dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dalam darah. Namun, dalam porsi wajar dan seimbang, hidangan seperti gajeboh tetap bisa menjadi bagian dari kekayaan kuliner Nusantara yang patut dilestarikan.
Cita Rasa “Surga” di Piring
Begitu sendok pertama masuk ke mulut, rasa pedas, asam, dan gurih berkelindan di lidah. Lemak yang lembut seolah meleleh, meninggalkan sensasi hangat yang menenangkan.
Bagi sebagian orang, inilah definisi “makanan surga” yang sesungguhnya — sederhana tapi memabukkan rasa.
Fakta Menarik:
Nama “gajeboh” berasal dari bahasa Minang untuk sandung lamur, bagian punuk sapi.
Gulai ini masuk kategori Asam Padeh Tanpa Santan — unik di antara ratusan jenis gulai Minang.
Di daerah Payakumbuh dan Agam, hidangan ini sering disantap dengan samba lado hijau dan nasi hangat. Makin tahu Indonesia.
(*)




