Pasbana - Di ranah Minangkabau, adat bukan sekadar pelengkap upacara atau bahan ceramah penghulu. Ia adalah urat nadi kehidupan — mengatur dari cara makan siriah sampai siapa yang berhak atas sepetak sawah.
Namun, sekuat-kuatnya adat, ada juga masa ketika aturan itu goyah: saat sebuah kaum — garis keturunan dari ibu — tiba-tiba punah.
Begitu kaum punah, pusaka pun jadi rebutan. Sako (gelar kebesaran adat) dan pusako (harta warisan kaum) yang mestinya dijaga, malah berubah jadi sumber sengketa.
Padahal, aturan adat sudah jelas. Penghulu pun sudah tahu urutannya. Tapi entah mengapa, selalu saja ada yang merasa “lebih berhak”, seperti sedang menawar tanah di pasar minggu.
Di titik inilah sering muncul “tragedi kecil” dalam masyarakat adat. Orang yang dulunya bersaudara, kini saling berhadap-hadapan di meja hukum.
Sawah jadi barang bukti, dan rumah gadang yang dulu sakral berubah jadi ladang perdebatan. Ironisnya, semua mengaku berjuang demi adat, tapi lupa bahwa adat tak pernah mengajarkan kerakusan.
Sebenarnya, adat Minang sudah menyediakan jalan damai: musyawarah mufakat. Kaum yang punah tak lantas membuat adat ikut punah. Ada mekanisme pewarisan, ada ninik mamak yang bisa menimbang, dan ada mufakat yang bisa menyejukkan.
Namun sayang, di era ketika “hak” lebih cepat viral daripada “adat”, rasa malu kepada adat sering dikalahkan oleh rasa ingin menang.
Mungkin inilah saatnya kita kembali mengingat filosofi lama yang sering diucap dengan ringan tapi bermakna dalam: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Kalau semua diukur dengan nafsu, maka pusako hanya tinggal batu. Tapi jika diatur dengan adat dan akal sehat, pusako bisa kembali jadi perekat, bukan penyulut bara.
Karena sejatinya, yang punah itu bukan cuma kaum — tapi juga rasa malu, rasa hormat, dan rasa sabar. Dan bila tiga rasa itu ikut punah, maka adat hanya tinggal cerita, bukan lagi pedoman hidup.(*)