Pasbana - Pasar saham Indonesia kembali menunjukkan hukum klasik yang selalu berulang: ketika kebanyakan investor panik dan menjual, justru itulah saat uang besar mulai bekerja diam-diam.
Saham Bank Central Asia (BBCA) menjadi contoh paling segar. Dalam beberapa bulan terakhir, saham unggulan ini melesat sekitar 13–14%, tepat setelah banyak investor ritel memutuskan cutloss karena menganggap harga sudah “mentok” dan tidak menarik.
Tak lama, saham-saham perbankan lain yang sempat diabaikan pun ikut bangkit. Fenomena ini bukan kebetulan — tapi cerminan dari psikologi pasar yang selalu berulang sejak pasar saham pertama kali ada.
Hukum Alam Pasar: Banyak yang Rugi, Sedikit yang Bertahan
Menurut data Bursa Efek Indonesia, lebih dari 70% investor ritel aktif di pasar saham hanya bertahan kurang dari tiga tahun. Sisanya berhenti setelah mengalami kerugian berulang.
Seorang analis pasar global yang juga mantan fund manager menyebut,
“Semakin pendek time frame-nya, semakin besar peluang investor untuk rugi. Tapi semakin panjang jangka waktunya, peluang rugi justru berkurang.”
Alasannya sederhana: pasar tidak selalu rasional dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, fundamental perusahaan biasanya “menang”.
Analogi sederhananya:
Bayangkan kamu menanam pohon mangga. Kalau kamu gali setiap minggu untuk lihat apakah akarnya tumbuh, pohon itu justru mati.
Begitu juga saham — jika terus dipantau dengan panik setiap hari, keputusan impulsif akan lebih sering muncul daripada hasil nyata.
Waktu Adalah Filter Alami Investor Bebal
Pasar saham bukan hanya soal analisis angka, tapi juga tentang mental endurance. Dari tahun ke tahun, investor yang kalah cenderung tersingkir dengan sendirinya — kapok, lalu berhenti.
Namun, selalu ada sebagian kecil yang “bebal”: mereka tetap berinvestasi tanpa belajar dari kesalahan. Mereka membeli saat euforia, dan menjual saat ketakutan melanda.
“Waktu menyeleksi siapa yang serius belajar dan siapa yang hanya ikut-ikutan hype,” ujar analis tersebut.
Hype Itu Berbahaya: Di Mana Tidak Ada Sorotan, Di Situ Sering Ada Peluang
Kebanyakan orang membeli saham atau aset karena ramai dibicarakan. Padahal, peluang sejati sering tersembunyi di tempat sepi.
Contohnya, Bitcoin (BTC) di tahun 2022 saat harganya hanya USD 22.000 — hampir tak ada yang peduli. Tapi beberapa analis berani menyebut saat itu sebagai waktu terbaik untuk membeli.
Kini, ketika BTC kembali naik, muncul “ahli dadakan” yang mengklaim sudah lama di dunia crypto, padahal dulu bahkan tidak muncul saat pasar lesu.
Hal serupa terjadi di pasar saham. Ketika BBCA turun ke kisaran Rp7.000-an, banyak investor justru menjual panik. Namun tak lama setelah itu, saham ini justru melonjak dua digit.
Kuncinya:
Ketika orang lain takut, jadilah tenang.
Ketika orang lain euforia, jadilah waspada.
Ini bukan teori — ini psikologi pasar yang terbukti sejak era Warren Buffett hingga kini.
Pelajaran dari BBCA dan BTC: Prinsip Investasi yang Tak Lekang oleh Waktu
Beberapa prinsip penting yang bisa diambil dari kasus ini:
Jangan reaktif terhadap sentimen jangka pendek.
Harga bisa turun karena rumor, tapi nilai perusahaan tidak berubah seketika.
Miliki horizon waktu yang jelas.
Investor jangka pendek bermain volatilitas, investor jangka panjang bermain fundamental.
Jangan ikut-ikutan hype.
Jika semua orang sudah bicara tentang “peluang besar”, bisa jadi peluang itu sudah lewat.
Bangun conviction dengan riset sendiri.
Tidak ada guru sakti di pasar. Yang ada hanya data dan disiplin.
Panduan Praktis untuk Investor Ritel
Berikut beberapa tips agar tidak terjebak dalam “lingkaran rugi” yang sama:
📊 Gunakan strategi Dollar Cost Averaging (DCA).
Beli sedikit demi sedikit di harga berbeda, bukan sekaligus saat euforia.
⏳ Perpanjang horizon investasi.
Minimal 3–5 tahun untuk saham berfundamental kuat.
🧠 Fokus pada nilai, bukan noise.
Abaikan komentar negatif jangka pendek di media sosial — fokus pada laporan keuangan dan tren sektor.
💬 Bangun literasi finansial.
Ikuti kanal edukasi, baca laporan BEI, dan belajar dari kesalahan kecil sebelum menanggung yang besar.
Pasar Selalu Menguji Kesabaran, Bukan Sekadar Kecerdasan
Naiknya BBCA dan kebangkitan saham-saham yang sempat “dihujat” adalah pengingat keras bahwa pasar saham lebih sering menghukum emosi ketimbang menghargai logika.
Dalam investasi, bukan yang paling pintar yang menang, tapi yang paling disiplin dan sabar.
Jadi, sebelum ikut-ikutan panik atau euforia, tanyakan dulu:
Apakah saya membuat keputusan berdasarkan data, atau hanya berdasarkan perasaan?
(*)




