Notification

×

Iklan

Iklan

Koperasi Merah Putih dan Janji yang Masih di Ujung Jalan

19 Oktober 2025 | 12:51 WIB Last Updated 2025-10-19T05:51:29Z


Pasbana- Di banyak kelurahan, Koperasi Merah Putih lahir dari ruang-ruang sempit di rumah warga, dari iuran lima ribu yang dikumpulkan saban bulan, dari tekad menolak takdir menjadi debitur rentenir. 

Tak ada plakat megah, tak ada investor berjas rapi—yang ada cuma kepercayaan dan rasa saling menjaga.

Namun, di balik semangat gotong royong yang menghangatkan itu, terselip satu pertanyaan dingin: “Siapa yang menolong ketika cicilan macet?”

Desa punya Dana Desa, BUMDes, dan payung fiskal untuk menahan badai. Tapi kelurahan? Mereka berdiri di tengah hujan tanpa jas hujan. Saat satu anggota gagal bayar, beban itu jatuh ke pundak teman sebelah rumah—bukan ke institusi mana pun. Solidaritas yang semula jadi energi, perlahan bisa berubah jadi beban moral.

Menteri Koperasi Teten Masduki sempat berkata dengan lantang, “Negara harus memberi kepastian perlindungan.” Kalimat itu indah di forum, tapi di lapangan masih jadi janji di ujung jalan.

Bank-bank BUMN seperti BRI, Mandiri, atau BNI memang membuka pintu pembiayaan bagi Koperasi Merah Putih. Tapi logika mereka tak ikut berubah: tak ada jaminan, tak ada pinjaman.

Padahal, bagaimana koperasi kelurahan mau memberi jaminan kalau mereka bahkan belum diakui secara fiskal?

Kementerian Dalam Negeri sempat melempar bola: kelurahan bisa masuk ke skema Jamkrida atau BPR daerah—asal kepala daerah mau mengetuk palu politik. Artinya, bukan tak ada jalan. Hanya saja, masih menunggu keberanian untuk melangkah.

Beberapa daerah seperti NTB dan Jawa Tengah sudah mulai mencoba. Mereka menulis ulang naskah kemandirian rakyat dengan tinta keberpihakan daerah. Namun, tanpa regulasi nasional yang tegas, langkah-langkah itu mudah terhenti di tengah jalan birokrasi.

Kini, Koperasi Merah Putih berdiri di persimpangan: antara semangat dan risiko. Mereka telah membuktikan bahwa gotong royong masih mungkin hidup di kota. Tapi tanpa jaring perlindungan, setiap rupiah yang mereka pinjam adalah keberanian yang nyaris nekat.

Sebab kemandirian sejati bukan berarti berjalan sendirian. Ia menuntut negara hadir—bukan sekadar memberi semangat, tapi memastikan ada tangan yang siap menopang ketika rakyat terpeleset di jalan kemandirian.

(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update