Pasbana - Suara derap kuda itu dulu terdengar setiap pagi di pusat Kota Padang. “Tuk…tak…tuk…tak…” — iramanya berpadu dengan teriakan kusir yang bersahutan, menunggu penumpang.
Kini, bunyi itu nyaris tak terdengar lagi. Yang tersisa hanyalah kenangan.
Bendi — atau dalam logat Minangkabau disebut Kudo Bendi — adalah salah satu transportasi tertua di Sumatera Barat.
Bendi — atau dalam logat Minangkabau disebut Kudo Bendi — adalah salah satu transportasi tertua di Sumatera Barat.
Kendaraan ini bukan sekadar alat angkut, tapi bagian dari sejarah sosial masyarakat Minang.
Konon, istilah “bendi” berasal dari nama penemunya, Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur Belanda di masa Hindia Belanda. Ia merancang kendaraan roda dua yang ditarik kuda sebagai sarana mobilitas elite kolonial.
Dari situlah, bendi menyebar ke berbagai daerah, dan di Minangkabau, kendaraan ini menjadi simbol status sosial.
Pada masa kolonial, hanya saudagar kaya, penghulu, atau pejabat Belanda yang bisa naik bendi. Kursinya empuk, dihiasi tirai renda, dan dihantarkan dengan santun oleh sang kusir berpeci hitam.
Dulu, kalau orang naik bendi itu tandanya dia berpunya atau bangsawan.
Namun, zaman berputar cepat. Sekitar tahun 1980-an, wajah Kota Padang mulai berubah. Jalanan mulai dipadati kendaraan bermotor. Bemo, ojek, dan mobil angkutan kota datang bergantian. Bendi perlahan tersingkir ke pinggir jalan.
Krisis moneter 1998 menambah beban. Banyak pemilik bendi menjual kudanya untuk bertahan hidup. Bagi sebagian warga, bendi hanyalah sisa romantisme masa lalu.
Padahal, sebagaimana pernah ditulis oleh Abdullah Rodolf Smit di Harian Haluan, bendi seharusnya bisa menjadi daya tarik wisata budaya yang menarik.
Pemerintah diharapkan bisa menghidupkan kembali transportasi tradisional ini. Nilainya bukan hanya nostalgia, tapi juga ekonomi.
Dalam pandangan antropolog Universitas Andalas, Dr. Erniwati, bendi mencerminkan filosofi hidup masyarakat Minang yang berpadu antara tradisi dan kehormatan.
Kuda bukan sekadar hewan kerja, tapi lambang kebanggaan dan kepemimpinan, ujarnya.
Tak heran, banyak wisatawan asing tertarik ketika melihat bendi berkeliling di pasar atau kawasan kota lama.
Beberapa kota lain seperti Yogyakarta dan Cirebon telah menjadikan delman sebagai atraksi wisata resmi yang diatur pemerintah daerah — lengkap dengan izin, tarif, dan jalur khusus wisata.
Kini, bendi yang tersisa lebih banyak digunakan untuk acara adat dan festival budaya dan sebagian untuk pariwisata.
Kalau tak ada bendi lagi, anak cucu kita takkan tahu seperti apa rasanya naik kendaraan tanpa mesin, yang melaju pelan di tengah kota.
Kudo bendi mungkin tak lagi menjadi primadona di jalanan. Tapi bagi sebagian orang, derap langkah kudanya masih menyisakan romantisme — pengingat bahwa kemajuan seharusnya tak selalu menghapus tradisi.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, dengan sedikit perhatian dari pemerintah dan kreativitas anak muda, bendi bisa kembali berlari gagah — kali ini bukan sekadar alat angkut, tapi simbol kebanggaan dan identitas Kota di Sumatera Barat yang sesungguhnya. Makin tahu Indonesia.
(*)




