Padang Panjang, pasbana - Di Batipuh, Tanah Datar, berdiri sebuah surau tua yang tampak sederhana, tapi menyimpan napas panjang sejarah keilmuan Minangkabau. Namanya Surau Lubuak Bauak — tempat di mana tinta para ulama dahulu menorehkan warisan intelektual Islam yang kini perlahan disapu waktu.
Pada Kamis pagi, 30 Oktober 2025, suasana surau itu terasa berbeda. Tim Penelusuran Naskah Kuno dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Padang Panjang datang membawa misi: menelusuri jejak intelektual masa lalu melalui manuskrip tua peninggalan para ulama Batipuh.
“Kami ingin memastikan bahwa warisan keilmuan Islam Minangkabau ini tetap terjaga dan dikenal oleh generasi muda,” ujar Patmawati, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perpustakaan DPK, saat ditemui di lokasi.
Pada abad ke-18 hingga ke-19, surau-surau di Minangkabau bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah universitas rakyat—pusat pembelajaran agama, logika, dan kehidupan.
Surau Lubuak Bauak termasuk di antaranya. Di sini, para murid menyalin kitab, mendalami tafsir, fikih, tauhid, hingga tasawuf. Naskah-naskah itu menjadi saksi lahirnya generasi ulama yang mencerdaskan Sumatra Barat dan Nusantara.
Dalam penelusuran kali ini, tim menemukan sejumlah kitab fikih bertulisan Arab Melayu, diperkirakan berusia sekitar dua setengah abad.
Menariknya, meski naskah-naskah itu sudah dalam bentuk cetakan dan tidak tergolong manuskrip asli, nilai historisnya tetap tinggi. Mereka menunjukkan jejak transformasi dari tradisi tulis tangan menuju era percetakan di dunia Islam Nusantara — sebuah peralihan besar dalam sejarah literasi lokal.
Tradisi manuskrip Melayu adalah fondasi penting bagi sejarah intelektual Islam di Indonesia. “Setiap naskah, bahkan salinan cetak sekalipun, menyimpan konteks sosial dan intelektual zamannya.
Salah satu bagian paling menarik dari penelusuran ini adalah kisah Buya Hamka—ulama, sastrawan, dan cendekiawan besar yang pernah menimba ilmu di surau ini antara tahun 1925–1928.
Surau Lubuak Bauak menjadi salah satu tempat penting dalam perjalanan intelektualnya sebelum ia menulis karya legendaris, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Penjaga surau, Armi Lestari, menuturkan, bangunan ini didirikan pada 1896 dan rampung sekitar 1901.
“Banyak pelajar datang ke sini, termasuk Hamka muda yang waktu itu penuh semangat belajar. Orang tua kami dulu bercerita, suasana surau ini ramai setiap malam. Ngaji, menulis, berdiskusi,” katanya sambil menunjukkan rak kayu tua berisi kitab-kitab lama yang aromanya khas kertas berusia ratusan tahun.
Kisah Hamka di surau ini seolah menegaskan bahwa tempat sederhana pun bisa menjadi sumber inspirasi besar.
Sejarawan sastra Indonesia mencatat bahwa Hamka banyak menyerap nilai moral dan spiritual dari pengalaman hidupnya di Batipuh sebelum menulis karya yang kini menjadi bagian penting dari sejarah sastra Indonesia modern.
Melalui dokumentasi dan wawancara, DPK Padang Panjang berharap temuan di Surau Lubuak Bauak dapat memperkuat kesadaran generasi muda tentang pentingnya merawat naskah dan pengetahuan lokal.
Langkah kecil ini juga sejalan dengan program nasional preservasi naskah kuno yang digagas oleh Perpustakaan Nasional RI, yang mencatat lebih dari 30.000 manuskrip Nusantara tersebar di berbagai daerah, banyak di antaranya masih tersimpan di surau, masjid, dan rumah penduduk.
“Kami ingin agar anak muda tidak hanya mengenal sejarah lewat buku pelajaran, tetapi juga dari sumber aslinya—naskah yang ditulis tangan oleh para ulama leluhur kita,” ujar Patmawati.
Kini, di tengah derasnya arus digital, Surau Lubuak Bauak kembali mendapat tempat dalam percakapan budaya. Ia bukan sekadar bangunan tua, melainkan pintu menuju masa lalu — di mana huruf Arab Melayu menuturkan kisah kecerdasan, keikhlasan, dan perjuangan spiritual orang Minangkabau.
(*)








 
 
 
