Pasbana - Setiap 1 Oktober, negeri ini punya ritual yang cukup sakral: memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Nama yang terdengar gagah, bahkan mistis bagi sebagian orang. Padahal, “sakti” di sini bukan berarti Pancasila bisa menghilang kayak superhero di film Marvel.
Kesaktiannya justru karena ia mampu bertahan, meski pernah dihantam ujian paling getir dalam sejarah republik: tragedi 30 September 1965.
Mari tarik mundur sedikit. Tahun 1965, tujuh perwira TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh.
Nama mereka kini kita hafal sebagai Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, M.T. Haryono, S. Parman, Soeprapto, D.I. Panjaitan, Sutoyo Siswodiharjo, dan Pierre Tendean.
Peristiwa kelam itu menyisakan trauma kolektif, sekaligus memunculkan satu kesimpulan besar: ada upaya serius untuk menggoyang dasar negara.
Pancasila nyaris tumbang. Ideologi lain—yang kala itu dituding datang dari PKI—mencoba mengambil alih panggung. Tapi sejarah berkata lain: Pancasila tetap tegak, bahkan makin dipeluk erat.
Dari situlah kata “sakti” menemukan maknanya. Ia bukan jimat, melainkan daya tahan ideologi yang sudah diramu para pendiri bangsa jauh sebelum republik ini lahir.
Pertanyaannya, apa makna “kesaktian” itu buat kita sekarang? Kalau sekadar upacara tiap 1 Oktober lalu selesai, Pancasila hanya jadi seremonial tahunan.
Kesaktiannya baru terasa nyata kalau sila-sila itu benar-benar hidup dalam praktik: adil, beradab, persatuan, musyawarah, keadilan sosial. Klise? Memang.
Tapi tanpa itu, bangsa ini bisa ambruk oleh polarisasi, hoaks, atau sekadar saling sindir di medsos.
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya jadi momen refleksi: apakah kita masih mempercayai Pancasila bukan hanya di mulut, tapi di tindakan sehari-hari?
Karena pada akhirnya, Pancasila sakti bukan karena teksnya, bukan karena diperingati dengan khidmat di Lubang Buaya, melainkan karena kita semua masih bersedia menjadikannya kompas.
Kalau tidak, jangan-jangan yang “sakti” hanya upacaranya, sementara nilai-nilainya perlahan menguap.(*)