Notification

×

Iklan

Iklan

Rantak Kudo: Pantun, Rebano, dan Cinta dari Tanah Rao yang Mulai Sunyi

08 Oktober 2025 | 19:31 WIB Last Updated 2025-10-08T12:31:10Z


Pasaman, pasbana - Di sebuah malam yang lengang di Lubuak Gadang, Rao Utara, denting rebano berpadu dengan hembusan angin dari perbukitan Pasaman. 

Suaranya menggetarkan, memanggil kenangan lama tentang sebuah tradisi yang dulu memikat hati banyak orang — Rantak Kudo.

Bagi sebagian orang muda hari ini, nama itu mungkin terdengar asing. Tapi bagi para sesepuh di Lansek Kadok dan Lubuak Gadang, Rantak Kudo adalah warisan yang menyatukan irama, pantun, dan cinta. Sebuah seni lisan Minangkabau yang lahir dari spontanitas, keindahan kata, dan lantunan alat musik tradisional.

Seni Berpantun yang Hidup dari Hati


Rantak Kudo bukan sekadar pertunjukan musik. Ia adalah bentuk sastra lisan Minangkabau yang tumbuh dari akar budaya masyarakat pedalaman Pasaman. Tradisi ini biasanya dilakukan dalam suasana santai, diiringi tabuhan rebano dan tiupan saluang — dua alat musik yang menjadi roh kesenian Minang.

Yang menarik, pantun-pantun dalam Rantak Kudo tidak membentuk satu cerita utuh. Tidak ada plot, tidak ada tokoh utama. Yang penting adalah keindahan berpantun, bagaimana tukang dendang bisa bermain kata, merangkai rima, dan menyalurkan perasaan dengan cerdas dan menghibur.

“Dulu, kalau ada Rantak Kudo diadakan, ramai anak muda datang. Kadang bisa dapat jodoh di sana,” ujar Datuk Rajo Malano, salah seorang pelestari budaya dari Rao Selatan, saat ditemui oleh tim riset kebudayaan Universitas Andalas tahun 2023.

Dari Ajang Cari Jodoh Menjadi Hiburan Rakyat


Memang, di masa lalu, Rantak Kudo punya fungsi sosial yang unik. Selain sebagai hiburan, ia juga menjadi ajang “berkenalan” bagi pemuda dan gadis desa. Melalui pantun, mereka saling melempar makna, menggoda dalam bahasa yang halus, tapi sarat pesan dan rasa.

Namun, waktu berjalan. Seiring datangnya hiburan modern dan perubahan gaya hidup, tradisi ini sempat “hilang suara” sejak tahun 1974. 

Baru pada 2001, sekelompok pegiat budaya mencoba menghidupkannya kembali — bukan lagi sebagai ajang mencari pasangan, melainkan seni pertunjukan rakyat yang menghibur dan mendidik.

Sayangnya, usaha pelestarian ini belum sepenuhnya berhasil. Di Lansek Kadok, misalnya, hanya segelintir orang berusia di atas 30 tahun yang masih menguasai pantun dan irama Rantak Kudo. Generasi muda, yang kini lebih akrab dengan TikTok dan musik digital, perlahan menjauh dari tradisi ini.

Pusaka yang Perlu Diselamatkan


Peneliti budaya Minangkabau, Dr. Indah Susanti, dalam jurnal Warisan Nusantara (2022), menyebut bahwa hilangnya Rantak Kudo adalah “gejala umum” dari pudarnya kesenian lisan di Sumatera Barat. 

“Kita kehilangan bukan hanya bentuk seni, tapi juga cara berpikir dan berinteraksi masyarakat tradisional,” tulisnya.

Upaya pelestarian kini mulai dilakukan oleh beberapa lembaga kebudayaan daerah dan kampus. Pemerintah Kabupaten Pasaman, lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, juga tengah merancang program revitalisasi kesenian daerah, termasuk Rantak Kudo, agar bisa tampil dalam agenda wisata budaya tahunan.

“Anak-anak muda sebenarnya punya bakat luar biasa dalam seni tutur. Tinggal bagaimana kita kemas Rantak Kudo agar relevan dengan zaman,” kata Rizki Wahyudi, pegiat komunitas.

Menjaga Irama dari Sunyi


Kini, Rantak Kudo berdiri di persimpangan: antara dilupakan atau diselamatkan. Di tengah gempuran budaya populer, ia mungkin tampak kecil. Tapi di balik pantun-pantunnya, tersimpan identitas dan kebijaksanaan Minang yang tak ternilai.

“Kalau Rantak Kudo hilang, yang hilang bukan cuma pantun,” ujar Datuk Rajo Malano pelan, “tapi juga cara orang Minang tersenyum lewat kata.” Makin tahu Indonesia. (*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update