Pasbana - Pada suatu sore yang santai dan hangat, seorang ayah berusia 60 tahun menunduk sejenak sebelum berkata pelan:
“Saya tahu saya tidak asyik untuk anak-anak saya. Tapi saya juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini usaha terbesar saya sebagai ayah.”
Tidak ada keluhan. Tidak ada dramatisasi.
Hanya kejujuran yang mengalir pelan—semacam rasa bersalah bercampur sayang, dari seorang ayah yang merasa langkahnya tak lagi secepat dunia anak-anaknya.
Dan, entah bagaimana, kalimat sederhana itu terasa menohok.
Sebab banyak dari kita pernah melihat sosok ayah seperti ini: kaku, bingung, tapi diam-diam terus mencoba.
Saat Niat Tak Bertemu dengan Cara
Tidak sedikit ayah masa kini yang merasa kian jauh dari anak-anaknya.
Generasi muda tumbuh dengan dunia digital, bahasa yang cair, dan ekspresi yang terbuka. Sementara banyak ayah berasal dari masa yang lebih hemat kata dan fokus pada tanggung jawab.
Menurut survei American Psychological Association, lebih dari 62% orang tua laki-laki mengaku kesulitan memahami cara komunikasi anak-anak mereka yang serba cepat di era digital.
Sementara riset Harvard Center on the Developing Child menunjukkan bahwa generasi orang tua terdahulu memang lebih mengutamakan “tanggung jawab fisik” ketimbang “kehadiran emosional”.
Itulah sebabnya banyak ayah hari ini merasa:
tidak nyambung dengan candaan anak,
salah paham dengan bahasa chat,
tak mengerti kenapa anak perlu validasi,
atau bingung bagaimana menunjukkan kasih sayang tanpa terlihat canggung.
Namun, meski kaku, mereka tetap berusaha.
Dan sering kali, justru di situlah bentuk cinta paling jujur tinggal:
cinta yang sederhana, tanpa kata-kata manis… tapi selalu kembali pulang.
Ayah dan Bahasa yang Tak Pernah Diajar
Menjadi ayah di era sekarang sebenarnya seperti mempelajari bahasa baru — bukan bahasa Inggris atau kode-kode Gen Z — tetapi bahasa emosional.
Banyak ayah tidak pernah diajarkan:
cara mengekspresikan sayang,
cara memeluk,
cara mendengarkan tanpa menghakimi,
atau cara mengakui kelemahan.
Psikolog keluarga Lydia Anggraini, M.Psi, menegaskan bahwa generasi orang tua laki-laki 40–70 tahun tumbuh di lingkungan yang menganggap ekspresi kasih sebagai hal tabu — “Ayah harus kuat, tidak boleh lembek”.
Akibatnya?
Mereka mencintai dengan cara-cara yang jarang diucapkan:
pulang meski lelah,
mengantar tanpa diminta,
menambah uang jajan tanpa alasan,
memperbaiki sesuatu di rumah tanpa berkata apa-apa.
Cinta dalam diam.
Canggung, tetapi nyata.
Empat Langkah Kecil untuk Ayah yang Sedang Belajar
Tak ada buku manual yang sempurna untuk menjadi ayah.
Namun psikolog keluarga dan praktisi parenting sepakat bahwa perubahan kecil bisa membuka pintu besar antara ayah dan anak.
1. Akui keterbatasan, tanpa merasa gagal
Kerentanan bukan kelemahan.
Justru itu membuat anak merasa lebih dekat dan melihat ayah sebagai manusia yang sedang tumbuh.
2. Coba lagi hari ini, meski kemarin gagal
Obrolan lima menit lebih berharga daripada diam lima tahun.
Setiap percakapan kecil adalah jembatan.
3. Perlihatkan cinta lewat perhatian, bukan pemberian
Anak-anak mengingat kehadiran jauh lebih lama daripada hadiah.
4. Belajar dari anak sendiri
Anak sebenarnya tidak menuntut ayah yang sempurna.
Mereka hanya ingin didengarkan — dan dipercaya.
Menurut studi Journal of Family Psychology, hubungan ayah–anak membaik drastis ketika ayah memulai percakapan sederhana setidaknya 10 menit sehari.
Ayah Tidak Harus Asyik untuk Bisa Dicintai
Ayah, menjadi “tidak asyik” bukanlah kegagalan.
Itu hanya tanda bahwa Anda berasal dari zaman yang berbeda —
namun tetap ingin menyesuaikan langkah.
Dan itu sudah luar biasa.
Anak tidak menunggu ayah yang jago bercanda.
Tidak juga menunggu ayah yang selalu benar.
Anak tidak menunggu ayah yang jago bercanda.
Tidak juga menunggu ayah yang selalu benar.
Yang mereka butuhkan hanyalah ayah yang hadir, meski sering salah arah.
Ayah yang mau mencoba lagi.
Ayah yang masih mau belajar bahasa baru untuk mencintai keluarganya.
“Tidak semua ayah pandai berkata sayang.
Tapi setiap ayah selalu berjuang, dengan caranya.”
(*)




