Oleh: Abril
Kepala SMP Muhammadiyah Kauman Padang Panjang
Pasbana - Memasuki Tahun Baru 2026, Sumatera seolah membuka lembaran waktu dengan rasa getir. Bukan tanpa alasan. Tujuh tahun terakhir, pulau ini berulang kali diuji oleh rangkaian bencana yang datang silih berganti—seolah tak memberi jeda untuk bernapas.
Pandemi COVID-19 yang menghantam sendi kehidupan belum sepenuhnya pulih, ketika gempa bumi mengguncang Pasaman pada 2022. Menyusul longsor di berbagai daerah perbukitan, erupsi Gunung Marapi yang memakan korban jiwa pada akhir 2023, hingga banjir besar dan banjir bandang yang merendam pemukiman, sawah, serta pusat ekonomi warga di Sumatera Barat dan provinsi lain di Sumatera.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang 2023–2024 saja, Sumatera Barat termasuk provinsi dengan frekuensi bencana hidrometeorologi yang tinggi, terutama banjir dan longsor—jenis bencana yang erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan dan tata kelola ruang yang buruk.
Bencana-bencana ini tentu bukan semata “takdir alam” yang datang tanpa sebab. Para ahli lingkungan telah lama mengingatkan bahwa deforestasi, alih fungsi lahan, penambangan tak terkendali, serta rusaknya daerah aliran sungai (DAS) menjadi pemicu utama meningkatnya risiko bencana.
Laporan World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebutkan bahwa Sumatera kehilangan jutaan hektare hutan alam dalam dua dekade terakhir, terutama akibat ekspansi perkebunan dan aktivitas ekstraktif. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan berubah menjadi lahan rapuh yang mudah longsor dan gagal menahan air.
Namun, di balik krisis ekologis itu, ada cermin lain yang juga patut kita tatap dengan jujur: krisis sosial dan moral.
Di banyak sudut kehidupan, muncul gejala yang mengkhawatirkan—perjudian daring yang kian masif, pergaulan bebas yang kian terbuka, hingga runtuhnya nilai-nilai etika di ruang publik. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat jutaan transaksi judi online berasal dari Indonesia setiap tahunnya, termasuk dari wilayah Sumatera. Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga sinyal rapuhnya fondasi moral masyarakat.
Bencana alam dan degradasi moral memang dua hal berbeda. Namun, keduanya sering berjalan beriringan. Ketika kepedulian terhadap nilai kebaikan melemah, empati terhadap lingkungan pun ikut menipis. Sungai diperlakukan seperti tempat sampah, hutan ditebang tanpa rasa bersalah, dan ruang hidup bersama dikelola tanpa tanggung jawab jangka panjang.
Di titik ini, mungkin kita tergoda untuk mencari kambing hitam: pemerintah, korporasi, kelompok tertentu, bahkan menyalahkan alam itu sendiri. Padahal, perubahan sejati jarang lahir dari tuding-menuding.
Yang lebih mendesak justru keberanian untuk bercermin.
Perubahan besar selalu berawal dari hal-hal yang tampak sepele: cara kita membuang sampah, cara kita memperlakukan sungai, cara kita membuka lahan, cara kita mendidik anak-anak di rumah, hingga cara kita menjaga etika di ruang publik dan dunia digital.
Penelitian dari United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa komunitas yang memiliki kesadaran moral dan sosial yang kuat cenderung lebih berhasil menjaga lingkungan hidupnya. Moralitas, dalam konteks ini, bukan sekadar soal agama, tetapi tentang rasa tanggung jawab terhadap sesama dan generasi mendatang.
Tahun 2026 seharusnya menjadi momentum refleksi bersama.
Jika tujuh tahun duka belum cukup menyadarkan kita, pertanyaannya sederhana sekaligus menohok: apa lagi yang harus terjadi?
Jika tujuh tahun duka belum cukup menyadarkan kita, pertanyaannya sederhana sekaligus menohok: apa lagi yang harus terjadi?
Sudah saatnya kita berhenti hanya mengeluh di media sosial, berhenti menyalahkan keadaan, dan berhenti menunggu orang lain bergerak lebih dulu. Sumatera tidak membutuhkan lebih banyak kemarahan, tetapi lebih banyak kesadaran.
Tahun baru ini bisa menjadi titik balik—ketika kita memilih untuk hidup lebih tertib, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab. Menjaga alam, memperbaiki moral, dan membangun kepedulian sosial bukanlah tugas segelintir orang, melainkan pekerjaan kolektif.
Karena pada akhirnya, negeri ini tidak akan berubah hanya dengan wacana. Ia berubah ketika warganya bersedia berubah—pelan-pelan, dari diri sendiri. (*)






