Notification

×

Iklan

Iklan

Ekonomi 5 Persen: Laju yang Ngebut di Jalanan Macet

06 November 2025 | 08:24 WIB Last Updated 2025-11-06T01:24:34Z


Pasbana - Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali mencatat angka “keramat”: lima persen. Tepatnya, 5,04 persen pada kuartal III 2025. Angka yang tampak indah di atas kertas, tapi terasa seperti mobil ngebut di gigi dua — mesin meraung, tapi lajunya tetap di situ-situ saja.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang menyebutkan bahwa ekonomi kita tumbuh sejalan ekspektasi pasar. Tak melesat, tapi juga tak melorot. Dari sisi ini, stabilitas ekonomi bisa dibilang terjaga. Namun, di balik angka itu, ada cerita tentang konsumsi rumah tangga yang mulai ngos-ngosan.

Padahal, konsumsi rumah tangga adalah “mesin turbo” ekonomi Indonesia. Begitu turbo-nya melemah, seluruh kendaraan ikut melambat. Kuartal ini, pertumbuhan konsumsi hanya 4,89 persen — terendah sejak akhir tahun lalu. 

Penyebabnya? Hari libur lebih sedikit dan demonstrasi nasional yang sempat bikin aktivitas masyarakat tersendat. Rupanya, aksi turun ke jalan bukan cuma menggetarkan politik, tapi juga grafik ekonomi.

Yang menarik, justru pemerintah dan ekspor yang jadi penyelamat. Pemerintah, setelah sempat menahan anggaran pada kuartal sebelumnya, akhirnya kembali menginjak pedal gas lewat dua paket stimulus senilai total hampir 70 triliun rupiah. 

Ekspor pun tampil gagah dengan pertumbuhan hampir 10 persen, meski Amerika Serikat baru saja menerapkan tarif resiprokal yang bisa saja bikin keringat dingin para eksportir.

Namun di sisi lain, investasi — atau yang dikenal dengan istilah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) — mulai tersendat. Dari 6,99 persen pada kuartal lalu, kini hanya 5,04 persen. 

Ketegangan geopolitik dan perdagangan global membuat investor tampak lebih banyak menunggu ketimbang menanam. Uang pun lebih banyak diam di brankas ketimbang mengalir ke proyek.

Kalau dilihat per sektor, tambang kembali jadi “anak tiri”. Kontraksi hampir dua persen membuat sektor ini terseret ke zona merah, terutama akibat melemahnya permintaan batu bara dan turunnya produksi tembaga di Papua. Sebaliknya, sektor pendidikan, jasa profesional, dan pariwisata justru berlari kencang. 

Tahun ajaran baru dan lonjakan wisatawan mancanegara membuat “sektor jasa” terasa hidup lagi — membuktikan bahwa di tengah dunia yang makin digital, manusia tetap butuh interaksi, belajar, dan liburan.

Dari sisi wilayah, Sulawesi dan Jawa masih memimpin laju ekonomi. Sementara Papua dan Maluku tertinggal jauh di belakang.

Ketimpangan antarwilayah ini menjadi pengingat bahwa pembangunan kita masih terlalu “Jawa-sentris”. Ekonomi nasional tumbuh, tapi belum semua daerah ikut merasakan degupnya.

Pertanyaannya: apakah angka lima persen ini patut dirayakan? Bisa iya, bisa tidak. 

Di tengah ekonomi global yang ringkih dan geopolitik yang tak menentu, pertumbuhan lima persen adalah capaian yang pantas disyukuri. Tapi di sisi lain, angka itu juga bisa menjadi alarm — bahwa mesin ekonomi domestik sedang kehilangan tenaga.

Apalagi, kalau stimulus terus digelontorkan tanpa dibarengi peningkatan produktivitas, jangan-jangan ekonomi kita hanya tumbuh karena “infus”, bukan karena sehat betulan.

Lima persen memang manis. Tapi seperti gula dalam kopi, terlalu lama dibiarkan bisa bikin pahit di akhir.
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update