Pasbana - Lampu-lampu di Rathaus, gedung tua nan megah di jantung Kota Hildesheim, berpendar hangat malam itu. Kamis, 30 Oktober 2025, udara Jerman Utara terasa dingin, tapi suasananya justru hangat—sehangat sambutan untuk Indonesia.
Di balik jendela besar berbingkai batu, suara gamelan lembut berpadu dengan denting tawa. Tari Rampak membuka panggung. Gerakannya cepat, serentak, dan tegas.
Lalu Tari Piring datang—mengilap, berputar, membelah cahaya. Para penonton terpaku. Seolah-olah sepotong Sumatera Barat menjejak di tanah Eropa malam itu.
Inilah Indonesischen Abends—Malam Indonesia. Sebuah perayaan persahabatan panjang antara Kota Padang dan Hildesheim.
Inilah Indonesischen Abends—Malam Indonesia. Sebuah perayaan persahabatan panjang antara Kota Padang dan Hildesheim.
Hubungan yang telah dirajut sejak 1988, dan kini, empat dekade kemudian, masih berdenyut hangat seperti kopi yang baru diseduh.
Kegiatan ini digagas oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hamburg, bersama Pemerintah Kota Hildesheim dan komunitas diaspora Indonesia. Di sinilah, diplomasi tak lagi dingin dan formal, tapi hidup—dalam tawa, musik, dan kenangan bersama.
Di ruang pameran, fotografer asal Jerman, Michell Rohmann, memperlihatkan karya visualnya. Lelaki itu bukan orang asing bagi Padang. Ia pernah membantu proyek pengelolaan sampah di kota itu pada 2021–2022. Foto-fotonya menceritakan Padang dari sudut pandang yang jujur: antara laut, kehidupan, dan tantangan.
“Dia juga memaparkan hasil proyek yang dilakukan bersama Pemerintah Kota Padang,” ujar Otto Sarbi Damanik, Kepala Bagian Kerjasama Setdako Padang.
Tak jauh dari situ, dinding lain menampilkan karya mahasiswa Indonesia dari organisasi Sagonese e.V.. Lewat lensa mereka, terlihat kisah tentang perubahan iklim dan luka tsunami di Mentawai.
Riset visual itu menggugah—mengingatkan bahwa persahabatan dua kota ini bukan hanya soal budaya, tapi juga soal kepedulian terhadap bumi.
Malam itu, musik menjadi bahasa universal. Lagu Malam Baiko dan Ayam Den Lapeh mengalun lembut, menciptakan nostalgia bagi para perantau. Wajah-wajah di antara penonton tampak larut—beberapa menepuk pelan mengikuti irama.
Wali Kota Hildesheim, Ingo Meyer, berdiri di atas panggung. Suaranya mantap, tapi matanya tampak berbinar. “Hubungan kita bukan hanya tentang kerja sama di atas kertas,” ujarnya. “Ini tentang manusia—tentang bagaimana kita saling belajar, saling menghargai.”
Ia pun berjanji akan datang ke Padang tahun depan. Sebuah janji kecil, tapi sarat makna bagi dua kota yang telah lama bersahabat lintas benua ini.
Dari Hamburg, Konjen RI Renata Siagian menyampaikan harapan agar kolaborasi ini berkembang lebih jauh—menyentuh bidang investasi, pendidikan, hingga ketenagakerjaan.
Sementara Wali Kota Padang, Fadly Amran, lewat sambutan videonya menegaskan: “Kita ingin hubungan ini hidup, tumbuh, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat di kedua kota.”
Malam pun beranjak larut. Musik terakhir mengalun pelan, tirai ditutup, tapi hangatnya suasana tetap tertinggal.
Malam Indonesia di Hildesheim bukan sekadar acara budaya. Ia adalah kisah persahabatan yang menembus jarak dan waktu. Sebuah bukti bahwa diplomasi terbaik seringkali lahir dari hal-hal sederhana: tarian, tawa, dan niat untuk saling memahami.
(*)




