Notification

×

Iklan

Iklan

Averaging Down atau Bunuh Diri Perlahan? Menghindari Jebakan “Catching a Falling Knife” di Pasar Saham

30 Desember 2025 | 13:42 WIB Last Updated 2025-12-30T06:42:19Z
 

Pasbana - Pernah merasa portofolio saham seperti lubang hitam? Sudah averaging down berkali-kali, tapi harga saham justru terus melorot tanpa tanda-tanda bangkit. Niat awalnya ingin menyelamatkan portofolio, namun yang terjadi malah modal makin terkuras, sementara harapan tinggal angka di layar.

Jika kamu pernah atau sedang mengalaminya, artikel ini penting untuk dibaca sampai tuntas. Kita akan membedah fenomena yang sering dialami investor ritel Indonesia, menjelaskan kesalahan umum yang kerap terjadi, sekaligus memberikan panduan praktis agar modal tidak habis perlahan tanpa disadari.

Fenomena Psikologi Pasar: Menangkap Pisau Jatuh


Dalam dunia investasi saham, ada istilah klasik: Catching a Falling Knife alias menangkap pisau yang sedang jatuh. Analogi ini sederhana: jika pisau masih melayang jatuh, siapa pun yang mencoba menangkapnya berisiko terluka.

Di pasar saham, “pisau” itu adalah saham yang harganya terus turun. Investor sering tergoda berpikir:
Harganya sudah murah, beli lagi saja biar rata-rata turun. Naik sedikit saja, langsung BEP.”

Masalahnya, harga murah tidak selalu berarti murah secara nilai. Banyak saham terlihat murah karena memang kinerjanya memburuk.

Data perdagangan di Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa setiap tahun selalu ada saham yang turun puluhan persen dan butuh waktu sangat lama—bahkan bertahun-tahun—untuk pulih, atau tidak pulih sama sekali.

Kenapa Kita Terlalu “Sayang” pada Saham Nyangkut?


Jawabannya bukan soal analisis, tapi psikologi.

Menurut riset perilaku keuangan, manusia cenderung lebih sakit kehilangan uang daripada senangnya mendapatkan jumlah yang sama. Prinsip ini dikenal sebagai loss aversion. Investor sulit mengakui bahwa keputusan awalnya salah.

Akibatnya:
Saham yang rugi terus “dipelihara”
Saham yang untung justru cepat dijual karena takut cuan menguap
Portofolio pun berubah menjadi semacam “panti asuhan saham nyangkut”—yang lemah disuntik modal terus, yang sehat malah ditinggal.

Padahal ada satu fakta kejam di market:
Saham yang sudah turun 50% masih bisa turun lagi 50% dari harga saat ini.
Dan jangan lupakan matematika recovery:
Turun 50% → butuh naik 100% hanya untuk balik modal

Semakin dalam penurunan, semakin berat jalan pulangnya.

Kapan Averaging Down Jadi Racun?


Averaging down sebenarnya bukan dosa. Ia bisa menjadi strategi jika dilakukan pada saham yang tepat.

Ibarat vitamin:
Cocok untuk tubuh yang sehat → membantu pemulihan
Diberikan pada tubuh yang sakit parah → justru memperparah kondisi
Jika fundamental perusahaan memburuk, utang meningkat, laba menyusut, atau ada masalah tata kelola, menambah posisi justru menambah beban.

Banyak investor menghibur diri dengan kalimat:
“Kalau belum dijual, berarti belum rugi.”

Ini keliru. Kamu tetap rugi:
Waktu (saham tidak bergerak)
Mental (stres melihat angka merah)
Opportunity cost (modal terkunci, padahal bisa dipakai di saham lain yang sedang naik)

Di pasar saham, satu prinsip penting selalu berlaku: cash is king.

Panduan Praktis: 3 Langkah Menyelamatkan Portofolio


Agar keputusan investasi lebih rasional dan tidak emosional, coba terapkan langkah sederhana berikut:

1. Cek Kondisi “Pisaunya”
Tanyakan dengan jujur:
Turun karena pasar sedang koreksi?
Atau karena masalah internal perusahaan?
Jika masalahnya struktural dan fundamental, waspada.

2. Tunggu Pisau Menyentuh Lantai
Jangan membeli saat harga masih jatuh bebas. Tunggu tanda-tanda:
Harga berhenti turun
Volume mulai stabil
Ada area support yang kuat
Analisis teknikal sederhana jauh lebih baik daripada menebak-nebak.

3. Sayangi Modal, Bukan Emiten
Cut loss bukan tanda kalah. Justru itu tanda disiplin. Banyak investor sukses dunia, termasuk Warren Buffett, menekankan pentingnya menjaga modal sebelum berbicara soal keuntungan.

Modal yang selamat bisa dipindahkan ke peluang yang lebih sehat dan produktif.

Belajar Lebih Rasional, Bukan Lebih Nekat


Jika kamu merasa portofolio sudah terlalu dalam merahnya dan keputusan mulai tidak objektif, jangan dipendam sendiri. Evaluasi dengan kepala dingin, berbasis data, bukan harapan.

Pasar saham selalu memberi peluang baru—asal modal dan mental masih utuh.
Teruslah belajar, tingkatkan literasi finansial, dan biasakan mengambil keputusan berdasarkan analisis, bukan emosi. Jangan lupa membaca artikel-artikel edukasi investasi lainnya agar semakin siap menghadapi dinamika pasar yang terus berubah.

Ingat: tujuan investasi bukan sekadar “balik modal”, tapi membangun portofolio yang sehat dan berkelanjutan.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update