Pasbana - Awal tahun sering dianggap sebagai “musim semi”-nya pasar saham. Dana segar dari bonus, THR sisa, atau angpao mulai mengalir ke pasar.
Optimisme tinggi, grup diskusi saham makin ramai, dan rasa takut ketinggalan cuan—atau yang sering disebut Fear of Missing Out (FOMO)—muncul di mana-mana.
Namun, di balik euforia itu, ada satu jebakan klasik yang selalu berulang: pump & dump. Modus lama, korban baru. Artikel ini membahas bagaimana pola jebakan tersebut bekerja, tanda-tanda yang perlu diwaspadai, serta tips praktis agar investor ritel tidak menjadi “exit liquidity” bagi pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pump & Dump: Ibarat Balon yang Ditiup Terlalu Kencang
Bayangkan sebuah balon. Ketika ditiup perlahan, balon membesar dengan wajar. Tapi kalau ditiup terlalu cepat dan berlebihan, balon itu akan pecah. Begitu juga dengan saham yang “digoreng”.
Pump & dump adalah skema di mana harga saham dinaikkan secara agresif dalam waktu singkat (pump), lalu dilepas massal oleh pihak tertentu (dump). Investor yang masuk belakangan biasanya menanggung kerugian ketika harga anjlok drastis.
Fenomena ini kerap muncul pada saham berkapitalisasi kecil, minim informasi fundamental, dan likuiditasnya terbatas—terutama di momen pasar sedang ramai seperti awal tahun.
Lima Tanda Saham Berpotensi Jadi Jebakan
1. Pola Harga “Tiang Listrik”
Jika grafik harga naik hampir tegak lurus dalam hitungan hari, tanpa didukung kabar fundamental yang jelas—seperti kinerja keuangan, ekspansi bisnis, atau kontrak baru—itu alarm bahaya.
Prinsip sederhana yang sering diingat pelaku pasar:
What goes up fast, usually comes down faster.
Kenaikan sehat biasanya bertahap, bukan lonjakan ekstrem dalam waktu singkat.
2. Terlalu Ramai Dipromosikan di Media Sosial
Waspadai saham yang tiba-tiba “viral”. Influencer, grup Telegram, atau akun anonim berteriak:
“To the moon!”
“Kesempatan terakhir sebelum naik 1.000%!”
Sering kali, pihak yang paling berisik justru sudah masuk lebih dulu di harga bawah. Mereka butuh pembeli di harga tinggi agar bisa keluar dengan untung.
3. Harga Naik, Volume Tidak Seimbang
Dalam pasar yang sehat, harga dan volume berjalan seiring. Jika harga naik tinggi tetapi volume transaksi kecil atau tidak konsisten, itu indikasi bahwa hanya segelintir pihak yang menggerakkan harga.
Kondisi ini rawan rug pull—harga ditarik turun mendadak ketika pelaku utama melepas sahamnya.
4. Tidak Ada Aturan Main Pribadi
Banyak kerugian besar bukan karena salah saham, tapi karena tidak disiplin.
Beberapa aturan dasar:
Pasang stop loss: ini sabuk pengaman Anda.
Jangan all-in: hindari menaruh seluruh dana di satu saham yang sedang hype.
Gunakan uang dingin: dana yang tidak mengganggu kebutuhan hidup jika berfluktuasi.
Tanpa aturan ini, emosi akan lebih sering mengalahkan logika.
5. Tidak Melakukan Riset Mandiri (DYOR)
Jangan berhenti di judul berita atau rekomendasi orang lain.
Luangkan waktu untuk mengecek:
Model bisnis perusahaan
Kinerja keuangan terakhir
Aksi korporasi yang resmi diumumkan
Keterbukaan informasi di situs Bursa
Model bisnis perusahaan
Kinerja keuangan terakhir
Aksi korporasi yang resmi diumumkan
Keterbukaan informasi di situs Bursa
Jika tujuan bisnis perusahaan tidak jelas, atau narasinya terlalu abstrak tanpa realisasi, patut dicurigai sebagai saham gorengan.
Kenapa Awal Tahun Rawan?
Menurut pengamat pasar, awal tahun kerap diwarnai arus dana ritel yang tinggi. Data perdagangan di Bursa Efek Indonesia menunjukkan partisipasi investor ritel terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada saham-saham berharga rendah.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan berulang kali mengingatkan pentingnya literasi dan kewaspadaan investor terhadap praktik manipulasi pasar, termasuk pola pump & dump yang kerap menyasar investor pemula.
Intinya: Jangan Mudah Tergiur Janji Cuan Instan
Di dunia investasi, tidak ada jalan pintas yang konsisten. Jika sebuah peluang terdengar terlalu indah—untung besar dalam semalam, tanpa risiko—kemungkinan besar itu memang jebakan.
Pasar saham bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling disiplin dan rasional.
Awal tahun seharusnya jadi momen menyusun strategi, bukan menambah trauma portofolio. Bekali diri dengan logika, disiplin, dan riset yang memadai sebelum menekan tombol beli.
Terus belajar dan tingkatkan literasi finansial—karena investor cerdas tidak lahir dari keberuntungan, tetapi dari pemahaman yang matang.
(*)




