Notification

×

Iklan

Iklan

Bencana Besar Terjadi Karena Sistem yang Dibiarkan Mendekati Titik Kritis

24 Desember 2025 | 13:38 WIB Last Updated 2025-12-24T07:30:08Z


Pasbana - Bayangkan sebuah gundukan pasir. Kita menjatuhkan satu butir, lalu satu lagi, pelan dan sabar. Awalnya aman. Tak ada yang aneh. Hingga suatu saat—entah butir ke berapa—seluruh sisi gundukan runtuh. Longsor besar terjadi, hanya karena satu butir kecil terakhir.

Itulah inti eksperimen sederhana yang dilakukan fisikawan Denmark, Per Bak, bersama Chao Tang dan Kurt Wiesenfeld pada 1987. Eksperimen ini melahirkan konsep penting dalam sains modern: self-organized criticality—kondisi ketika sebuah sistem secara alami bergerak menuju titik rapuh, tanpa perlu “dirusak” terlebih dahulu.

Dalam eksperimen gundukan pasir itu, longsor kecil sering terjadi. Namun longsor besar juga bisa muncul kapan saja, tanpa pola yang bisa ditebak. Tidak ada ukuran pasti kapan bencana besar akan terjadi. Sistemnya terlihat stabil, padahal sebenarnya sedang berada di ambang runtuh.

Konsep ini kini digunakan untuk membaca banyak fenomena kompleks: gempa bumi, kebakaran hutan, pasar keuangan—hingga bencana banjir dan longsor yang makin sering kita alami.

Lalu apa hubungannya dengan kondisi alam hari ini?


Sederhana. Alam kita sedang berada di “lereng kritis”.

Hutan yang terus berkurang, daerah resapan yang berubah jadi beton, sungai yang menyempit oleh permukiman, serta curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim—semuanya adalah butir-butir pasir yang terus ditambahkan. Menurut IPCC (2023), intensitas hujan ekstrem di kawasan tropis meningkat signifikan akibat pemanasan global. Sementara data BNPB mencatat, sepanjang 2024–2025, banjir dan longsor menjadi bencana paling dominan di Indonesia.

Masalahnya, bencana sering terlihat “tiba-tiba”. Padahal, seperti gundukan pasir, kerusakan itu terakumulasi perlahan. Hujan lebat hanyalah butir terakhir—bukan penyebab utama.

Inilah pelajaran penting dari Per Bak:
bencana besar jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal. Ia lahir dari sistem yang dibiarkan terus mendekati titik kritis.

Artinya, solusi tak cukup hanya membangun tanggul darurat atau normalisasi sungai saat bencana datang. Yang jauh lebih penting adalah mengurangi tumpukan pasirnya: menghentikan deforestasi, memperbaiki tata ruang, melindungi daerah aliran sungai, dan menurunkan emisi yang memperparah iklim ekstrem.

Karena di alam, seperti dalam eksperimen pasir, kita sering tak tahu butir mana yang akan membuat semuanya runtuh. Tetapi kita selalu tahu: terlalu banyak butir, cepat atau lambat, pasti jatuh juga. (*)


Referensi utama:
Per Bak et al., Self-Organized Criticality, Physical Review Letters (1987); IPCC AR6 (2023); Data BNPB Indonesia (2024–2025).

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update